Tag Archives: indonesia

Tanah di Indonesia

BAB 1. PENDAHULUAN

Fungsi pokok tanah : (1)Mendukung secara berkelanjutan produksi komoditas hayati, (2)untuk mendukung secara berkelanjutan kesehatan ekosistem, (3)Mata rantai daur hidrologi terestrik, dan (4)Melindungi mutu lingkungan air dan udara yang berantarmuka (Interfacing) dengan tanah (Harris & Bezdicek, 1994, yang diperluas). Keempat fungsi pokok tanah menjadi rujukan penilaian keselamatan sumber daya tanah dalam proses pembangunan nasional.

Keselamatan sumber daya tanah diukur menurut seberapa besar kemampuan yang masih dimiliki tanah menjalankan fungsi-fungsi pokoknya. Setiap kegiatan pembangunan selalu mengakibatkan perubahan pada lingkungan karena bertujuan : (1)Meningkatkan produktivitas sumberdaya, (2)Menganekaragamkan hasil peoduksi, (3)Memperbaiki tata ruang atau sistem peruntukan sumberdaya, (4)Memasukan fungsi konservasi, (5)dsb. Ada 4 pengaruh hakiki pembangunan atas lingkungan, termasuk atas tanah sebagai komponen lingkungan, yaitu : (1)Mengubah sifat dan perilaku komponen lingkungan, (2)Mengubah saling nasabah antar komponen lingkungan, (3) Mengubah tata ruang, dan (4)Memasukan limbah atau sisa proses ke- dalam lingkungan. Pengaruh-pengaruh ini selanjutnya akan mempengaruhi kinerja komponen lingkungan.

Perubahan lingkungan kehidupan akhirnya akan mengimbas perubahan pandangan, sikap, dan perilaku masyarakat, yang pada gilirannya akan memunculkan kebutuhan akan pemaknaan ulang hubungan manusia dengan lingkungannya. Tergantung pada faktor-faktor obyektif dan subyektif yang dihadapi masyarakat, pemaknaan ulang ini mengarah ke penggunaan sumberdaya secara lebih rasional, atau sebaliknya mengarah ke yang lebih eksploitatif.

Pemaknaan hubungan manusia dengan lingkungannya tercermin pada: (1)hukum yang diberlakukan, baik yang tidak tertulis (hukum adat) maupun yang positif berupa peraturan perundangan, (2)teknologi yang diterapkan, mencakup teknologi tanah dan teknologi pendayagunaan lahan lain yang akibatnya dapat berdampak atas tanah, dan (3)kebijakan yang dibuat, mencakup segala arahan tindakan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Hukum, teknologi dan kebijakan bersumber dalam cerapan, visi, dan misi yang diemban dalam upaya memajukan kehidupan bangsa dan negara.

Kemampuan sumberdaya tanah menjalankan fungsi-fungsi pokok ditentukan oleh: (1)sifat-sifatnya, (2)luas hamparannya, dan (3)beban yang dipikul. Kemampuan menurun karena kemunduran sifat yang disebabkan oleh kesalahan pengelolaan atau terkena dampak negatif. Dapat juga karena penyusutan luas hamparan yang disebabkan oleh perubahan tata ruang. Kemampuan menjadi tidak mencukupi karena pemberian beban kerja terlalu berat,  melampaui batas kemampuannya, yang disebabkan oleh penggunaan berlebiahan yang menjurus ke arah eksploitasi. Pengguanaan lampau batas akhirnya akan memundurkan sifat tanah. Perubahan faktor-faktor penentu kemampuan sumberdaya tanah saling menentukan akibatnya. Kemunduran sifat menjadi lebih gawat kalau disertai penyusutan luas hamparan, dan sebaliknya.

Keselamatan sumberdaya tanah dapat dijamin dengan pengawetan sifat-sifat tanah, pencegahan penyusutan luas hamparan tanah, atau dengan mengusahakan agar perubahan masing-masing dapat saling mengompensasi, dan menghindari penetapan peruntukan tanah yang menyalahi asas tataguna lahan.

BAB 2. LUAS WILAYAH REPUBLIK INDONESIA

Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara, terletak di garis khatulistiwa berada diantara Benua Asia dan Benua Australia, dan berada diantara dua samudera yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Indonesia terdiri dari 17.508 pulau dengan jumlah luas daerahnya yaitu 2.539.435 km², dan memiliki penduduk berjumlah 222 juta jiwa pada tahun 2006 (wikipedia.org, atlas 2000 ). Pada awalnya, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari 27 provinsi. Namun, dalam perkembangannya wilayah tersebut  bertambah menjadi 33 provinsi. Perkembangan ini disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah dalam menata kehidupan bangsa.

2.1.Pulau Sumatra.

No. Daerah Provinsi

Luas Daerah (km²)

Penduduk

Berdiri

1

Nangroe Aceh Darussalam

55.392

3,9 juta jiwa

7 Des.1959

2

Sumatra Utara

70.787

11,5 juta jiwa

7 Des.1956

3

Sumatra Barat

42.297

4,2 juta jiwa

3 Juli1958

4

Sumatra Selatan

109.254

7,75 juta jiwa

14 Ags.1950

5

Riau

94.561

4,7 juta jiwa

25 Juli1958

6

Jambi

53.436

2,4 juta jiwa

2 Juli1958

7

Bengkulu

19.786

1,4 juta jiwa

2 Sept.1967

8

Lampung

35.376

6,6 juta jiwa

13 Feb.1964

9

Kep.Bangka Belitung

14.640

940.700 jiwa

4 Des.2000

10

Kep.Riau

13.740

992.970 jiwa

24 Sept.2002

Sumber : Atlas Indonesia baru, 2000

2.2.Pulau Jawa.

No. Daerah Provinsi

Luas Daerah (km²)

Penduduk

Berdiri

1

DKI Jakarta

656

8,5 juta jiwa

10 Feb.1965

2

Jawa Barat

44.176

43,5 juta jiwa

14 Juli 1950

3

Banten

8.234

4,2 juta jiwa

17 Okt.2000

4

Jawa Tengah

34.862

30,8 juta jiwa

4 Juli 1950

5

D.I. Yogyakarta

3.146

3,1 juta jiwa

4 Maret 1950

6

Jawa Timur

47.921

34,5 juta jiwa

4 Maret 1950

Sumber : Atlas Indonesia baru, 2000

2.3.Pulau Bali.

No. Daerah Provinsi

Luas Daerah (km²)

Penduduk

Berdiri

1

Bali

5.632

3,1 juta jiwa

14 Ags.1958

Sumber : Atlas Indonesia baru, 2000

2.4.Pulau Nusa Tenggara.

No. Daerah Provinsi

Luas Daerah (km²)

Penduduk

Berdiri

1

Nusa Tenggara Barat

20.153

3,8 juta jiwa

14 Ags.1958

2

Nusa Tenggara Timur

4.789

3,7 juta jiwa

14 Ags.1958

Sumber : Atlas Indonesia baru, 2000

2.5.Pulau Kalimantan.

No. Daerah Provinsi

Luas Daerah (km²)

Penduduk

Berdiri

1

Kalimantan Barat

146.807

3,7 juta jiwa

7 Des.1956

2

Kalimantan Tengah

153.800

1,8 juta jiwa

2 Juli 1958

3

Kalimantan Timur

211.440

2,4 juta jiwa

7 Des.1956

4

Kalimantan Selatan

37.377

2,9 juta jiwa

7 Des.1956

Sumber : Atlas Indonesia baru, 2000

2.6.Pulau Sulawesi.

No. Daerah Provinsi

Luas Daerah (km²)

Penduduk

Berdiri

1

Sulawesi Utara

25.786

2,8 juta jiwa

13 Des.1960

2

Gorontalo

10.804

840.386 jiwa

22 Des.2000

3

Sulawesi Selatan

62.482

7,77 juta jiwa

13 Des.1960

4

Sulawesi Tengah

68.033

2 juta jiwa

23 Sept.1964

5

Sulawesi Tenggara

38.140

1,77 juta jiwa

22 Sept.1964

6

Sulawesi Barat

16.787

966.535 jiwa

24 Okt.2004

Sumber : Atlas Indonesia baru, 2000

2.7.Kepulauan Maluku.

No. Daerah Provinsi

Luas Daerah (km²)

Penduduk

Berdiri

1

Maluku

74.505

1,1 juta jiwa

1 Juli 1958

2

Maluku Utara

590.154

1,3 juta jiwa

4 Okt.1999

Sumber : Atlas Indonesia baru, 2000

2.8.Pulau Papua.

No. Daerah Provinsi

Luas Daerah (km²)

Penduduk

Berdiri

1

Papua

309.934

1.841.358 jiwa

4 Okt.1999

2

Papua Barat

114.566

566.563 jiwa

4 Okt.1999

Sumber : Atlas Indonesia baru, 2000

Adapun sekitar 70% wilayah Indonesia merupakan lautan, dari jumlah keseluruhan luas Indonesia didaratan maupun lautan. Laut yang ada yaitu Laut Jawa, Laut Banda, dan Laut Flores. Batas wilayah perairan diatur menurut Hukum Laut Internasional :

2.a). Batas Laut Teritorial

Batas wilayah laut sejauh 12 mil diukur dari garis pantai paling luar indonesia. Jika berbatasan dengan negara tetangga, batas laut teritorialnya ditetapkan menurut perjanjian kedua negara yang bersangkutan. Dalam batas wilayah laut, termasuk kekayaan alam yang ada didalamnya serta wilayah udara diatasnya.

2.b). Batas Landasan Kontinen

Batas wilayah dasar laut yang didalamnya tidak lebih dari 200 meter dan jauhnya tidak lebih dari 200 mil.

2.c). Zone Economy Exclusive (ZEE)

Batas wilayah laut dilihat dari segi ekonomi. Batas ZEE Indonesia sejauh 200 mil diukur dari garis pantai ke arah laut bebas. Dalam zona ini Indonesia berhak atas pemanfaatan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya (IKAPI, cetakan 1 2007 ).

BAB 3. FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK TANAH

Ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi proses pembentukan tanah, antara lain iklim, organisme, bahan induk, topografi, dan waktu. Faktor-faktor tersebut dapat dirumuskan dengan rumus sebagai berikut:

T = f (i, o, b, t, w)
Keterangan
T = tanah b = bahan induk
f = faktor t = topografi
i = iklim w = waktu
o = organisme
Faktor-faktor pembentuk tanah tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
3.1. Iklim
Unsur-unsur iklim yang mempengaruhi proses pembentukan tanah terutama ada dua, yaitu suhu dan curah hujan.
a. Suhu/Temperatur
Suhu akan berpengaruh terhadap proses pelapukan bahan induk. Apabila suhu tinggi, maka proses pelapukan akan berlangsung cepat sehingga pembentukan tanah akan cepat pula.
b. Curah hujan
Curah hujan akan berpengaruh terhadap kekuatan erosi dan pencucian tanah, sedangkan pencucian tanah yang cepat menyebabkan tanah menjadi asam (pH tanah menjadi rendah).
3.2. Organisme (Vegetasi, Jasad renik/mikroorganisme)
Organisme sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan tanah dalam hal:
a. Membuat proses pelapukan baik pelapukan organik maupun pelapukan kimiawi.
Pelapukan organik adalah pelapukan yang dilakukan oleh makhluk hidup (hewan dan tumbuhan), sedangkan pelapukan kimiawi adalah pelapukan yang terjadi oleh proses kimia seperti batu kapur larut oleh air.
b. Membantu proses pembentukan humus. Tumbuhan akan menghasilkan dan menyisakan daun-daunan dan ranting-ranting yang menumpuk di permukaan tanah. Daun dan ranting itu akan membusuk dengan bantuan jasad renik/mikroorganisme yang ada di dalam tanah.
c. Pengaruh jenis vegetasi terhadap sifat-sifat tanah sangat nyata terjadi di daerah beriklim sedang seperti di Eropa dan Amerika. Vegetasi hutan dapat membentuk tanah. Vegetasi hutan dapat membentuk tanah hutan dengan warna merah, sedangkan vegetasi rumput membentuk tanah berwarna hitam karena banyak kandungan bahan organis yang berasal dari akar-akar dan sisa-sisa rumput.
d. Kandungan unsur-unsur kimia yang terdapat pada tanaman berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah. Contoh, jenis cemara akan memberi unsur-unsur kimia seperti Ca, Mg, dan K yang relatif rendah, akibatnya tanah di bawah pohon cemara derajat keasamannya lebih tinggi daripada tanah di bawah pohon jati.
3.3. Bahan Induk
Bahan induk terdiri dari batuan vulkanik, batuan beku, batuan sedimen (endapan), dan batuan metamorf.
Batuan induk itu akan hancur menjadi bahan induk, kemudian akan mengalami pelapukan dan menjadi tanah.
Tanah yang terdapat di permukaan bumi sebagian memperlihatkan sifat (terutama sifat kimia) yang sama dengan bahan induknya. Bahan induknya masih terlihat misalnya tanah berstuktur pasir berasal dari bahan induk yang kandungan pasirnya tinggi. Susunan kimia dan mineral bahan induk akan mempengaruhi intensitas tingkat pelapukan dan vegetasi diatasnya. Bahan induk yang banyak mengandung unsur Ca akan membentuk tanah dengan kadar ion Ca yang banyak pula sehingga dapat menghindari pencucian asam silikat dan sebagian lagi dapat membentuk tanah yang berwarna kelabu. Sebaliknya bahan induk yang kurang kandungan kapurnya membentuk tanah yang warnanya lebih merah.
3.4 Topografi/Relief
Keadaan relief suatu daerah akan mempengaruhi:
a. Tebal atau tipisnya lapisan tanah
Daerah yang memiliki topografi miring dan berbukit lapisan tanahnya lebih tipis karena tererosi, sedangkan daerah yang datar lapisan tanahnya tebal karena terjadi sedimentasi.
b. Sistem drainase/pengaliran
Daerah yang drainasenya jelek seperti sering tergenang menyebabkan tanahnya menjadi asam
3.5. Waktu
Tanah merupakan benda alam yang terus menerus berubah, akibat pelapukan dan pencucian yang terus menerus. Oleh karena itu tanah akan menjadi semakin tua dan kurus. Mineral yang banyak mengandung unsur hara telah habis mengalami pelapukan sehingga tinggal mineral yang sukar lapuk seperti kuarsa.
Karena proses pembentukan tanah yang terus berjalan, maka induk tanah berubah berturut-turut menjadi tanah muda, tanah dewasa, dan tanah tua. Untuk jelasnya lihat gambar berikut:

Penjelasan Tanah Muda ditandai oleh proses pembentukan tanah yang masih tampak pencampuran antara bahan organik dan bahan mineral atau masih tampak struktur bahan induknya. Contoh tanah muda adalah tanah aluvial, regosol dan litosol. Tanah Dewasa ditandai oleh proses yang lebih lanjut sehingga tanah muda dapat berubah menjadi tanah dewasa, yaitu dengan proses pembentukan horison B. Contoh tanah dewasa adalah andosol, latosol, grumosol.

Tanah Tua proses pembentukan tanah berlangsung lebih lanjut sehingga terjadi proses perubahan-perubahan yang nyata pada horizon-horoson A dan B. Akibatnya terbentuk horizon Contoh tanah pada tingkat tua adalah jenis tanah podsolik dan latosol tua (laterit) .

Lamanya waktu yang diperlukan untuk pembentukan tanah berbeda-beda. Bahan induk vulkanik yang lepas-lepas seperti abu vulkanik memerlukan waktu 100 tahun untuk membentuk tanah muda, dan 1000 – 10.000 tahun untuk membentuk tanah dewasa. Secara ringkas faktor-faktor pembentuk tanah digambarkan seperti berikut:

BAB 4. PENYEBARAN TANAH DI INDONESIA

Adanya hubungan yang erat antara tanah dan sifat-sifat serta penyebarannya dengan “landform” dan iklim. Hal ini berkaitan dengan sifat batuan atau litologi serta iklim dalam proses pembentukan “landform” dan pelapukan batuan dan bahan induk tanah (Desaunettes, 1977). Tanah yang ada di Indonesia khususnya yang ada di Indonesia terbentuk dari berbagai bahan induk, yaitu bahan organik, aluvium, batu gamping, metamorf, sedimen, plutonik, dan vulkanik. Dalam kaitannya dengan iklim, tanah yang terdapat di daerah yang beriklim basah (Kalimantan, Maluku, sebagian Irian Jaya) terutama yang terbentuk dari bahan induk sedimen, plutonik dan vulkanik, cenderung bereaksi masam (pH < 5.50). Sebaliknya tanah yang terdapat didaerah beriklim kering, yaitu sebagian Sulawesi, Nusa Tenggara Timur,dan sebagian Irian Jaya (daerah Merauke) cenderung bereaksi netral alkali (pH > 6.30-8).

Penyebaran bahan organik yang aling luas terdapat di Kalimantan dan Irian Jaya, karena di kedua wilayah tersenut terdapat “landform” gambut yang sangat luas, baik gambut pedalaman yang berupa kubah gambut (“peat dome”) maupun gambut pasang surut (“tidal peat”).

Bahan aluvium terdiri atas aluvium marin dan aluvium sungai (fluviatin). Sesuai dengan tipologi wilayahnya penyebaran bahan induk aluvium yang paling luas terdapat di Kalimantan dan Irian Jaya, yaitu pada daaran yang termasuk landform marin dan aluvial.

Bahan induk batu gamping tersebar pada landform karst yang terdapat hampir di semua wilayah, kecuali di Kalimantan Barat dan relatif sangat sedikit di Kalteng dan Sulawesi Utara.

Batuan metamorf terdapat pada landform tektonik/struktural. Penyebarannya terluas terdapat di Irian Jaya pada topografi berbukit dan bergunung, diikuti oleh Sulawesi Tengah, Maluku, dll.

Batuan sedimen yang dapat berupa batu liat, batu pasir batu denu atau batu lanau tersebar merata di semua wilayah. Namun daerah terluas terdapat di daerah Irian Jaya, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.

Batuan Plutonik penyebaran terluas berturut-turut terdapat di wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tengah. Bahan vulkanik dapat berupa batuan kokoh (consolidate rock) atau berupa bahan lunak (tufa) atau lepas (pasir). Bahan vulkanik terdapat di semua wilayah khususnya di Pulau Jawa, tetapi yang paling luas di wilayah timur Indonesia berturut-turut antara lain di Sulawesi Utara, NTB, NTT, Maluku, dan Sulsel. Masing-masing bahan induk tersebut membentuk tanah yang sifatnya beragam. Namun keragaman sifat tanah tidak hanya dipengaruhi oleh bahan induk, karena sifat tanah dapat berbeda, walaupun bahan induknya sama. Hal ini karena proses pembentukan tanah selain ditentukan oleh bahan induk juga dipengaruhi oleh faktor pembentuk tanah lainnya seperti iklim. Di wilayah timur Indonesia, faktor iklim ini dominan pengaruhnya terhadap sifat tanah.

4.1. Jenis Tanah di Indonesia

Indonesia adalah negara kepulauan dengan daratan yang luas dengan jenis tanah yang berbeda-beda. Berikut ini adalah macam-macam / jenis-jenis tanah yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4.1.1. Tanah Humus

Tanah humus adalah tanah yang sangat subur terbentuk dari lapukan daun dan batang pohon di hutan hujan tropis yang lebat.

4.1.2. Tanah Pasir

Tanah pasir adalah tanah yang bersifat kurang baik bagi pertanian yang terbentuk dari batuan beku serta batuan sedimen yang memiliki butir kasar dan berkerikil.

4.1.3. Tanah Alluvial / Tanah Endapan

Tanah aluvial adalah tanah yang dibentuk dari lumpur sungai yang mengendap di dataran rendah yang memiliki sifat tanah yang subur dan cocok untuk lahan pertanian.

4.1.4. Tanah Podzolit

Tanah podzolit adalah tanah subur yang umumnya berada di pegunungan dengan curah hujan yang tinggi dan bersuhu rendah / dingin.

4.1.5. Tanah Vulkanik / Tanah Gunung Berapi

Tanah vulkanis adalah tanah yang terbentuk dari lapukan materi letusan gunung berapi yang subur mengandung zat hara yang tinggi. Jenis tanah vulkanik dapat dijumpai di sekitar lereng gunung berapi.

4.1.6. Tanah Laterit

Tanah laterit adalah tanah tidak subur yang tadinya subur dan kaya akan unsur hara, namun unsur hara tersebut hilang karena larut dibawa oleh air hujan yang tinggi. Contoh : Kalimantan Barat dan Lampung.

4.1.7. Tanah Mediteran / Tanah Kapur

Tanah mediteran adalah tanah sifatnya tidak subur yang terbentuk dari pelapukan batuan yang kapur. Contoh : Nusa Tenggara, Maluku, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

4.1.8. Tanah Gambut / Tanah Organosol

Tanah organosol adalah jenis tanah yang kurang subur untuk bercocok tanam yang merupakan hasil bentukan pelapukan tumbuhan rawa. Contoh : rawa Kalimantan, Papua dan Sumatera.

4.2. Landform

Dalam klasifikasi landform terbagi kedalam sembilan grup utama, yang dibagi lagi lebih lanjut dalam subgrup dan kategori-kategori lebih rendah.

4.2.1.Group Aluvial, simbol:A.

Landform muda (resen dan subresen) yang terbentuk dari proses fluvial (aktivitas sungai), koluvial (gravitasi), atau gabungan dari keduanya. Pembagian selanjutnya dari group aluvial sebagai berikut:

– Lahan Aluvial, yaitu wilayah yang terbentuk karena proses fluvial dari bahan endapan sungai, biasanya berlapis-lapis dengan tekstur beragam, dicirikan oleh adanya kerikil/batu yang bentuknya membulat. Dan lahan aluvial ini terbagi lagi menjadi dataran banjir, teras sungai, dan dataran aluvial.

– Lahan Aluvio-Koluvial, yaitu lahan agak datar sampai miring terbentuk karena proses fluvial dan koluvial di antara bukit-bukit atau kaki bukit gunung. Dan lahan ini terbagi lagi menjadi kipas aluvial, lahan koluvial, dan dataran antar perbukitan.

– Basin Aluvial, yaitu daerah rendah (basin) dimana air disekitarnya mengalir ke tempat tersebut. Terbagi menjadi basin tertutup/lakustrin, dan depresi aluvial.

4.2.2.Group Marin, simbol:M.

Landform yang terbentuk oleh proses marin, baik proses yang bersifat konstruktif (pengendapan) maupun destruktif (abrasi). Daerah yang terpengaruh air permukaan yang bersifat asin secara langsung ataupun daerah pasang surut tergolong dalam landform ini. Pembagian selanjutnya sebagai berikut:

– Pesisir, yaitu daerah peralihan antara darat dan laut yang terbentuk karena endapan gelombang laut, baik dari bahan pengikisan tebing maupun bahan-bahan yang dibawa sungai ke laut. Terbagi lagi menjadi punggung dan cekungan pesisir.

– Dataran pasang surut, yaitu daerah rawa-rawa yang dipengaruhi secara langsung oleh pasang surut air laut. Terbagi menjadi dataran pasang surut pasir, dataran pasang surut lumpur, dan rawa belakang pasang surut.

– Teras Marin, yaitu dataran pantai yang terangkat dan bahannya tersiri dari bahan endapan laut yang tidak kukuh serta lepas. Terbagi lagi menjadi teras marin resen, dan teras marin subresen.

– Terumbu karang, yaitu masa batu gamping di pinggir laut terjadi akibat pengangkatan.

4.2.3.Group Fluvio-Marin, simbol:B.

Landform yang terbentuk oleh gabungan dari proses fluvial dan dan marin. Keberadaan landform ini dapat terbentuk pada lingkungan laut (berupa delta) ataupun di muara sungai yang terpengaruh langsung oleh aktivitas laut.

4.2.4.Group Gambut, simbol:G.

Landform yang terbentuk di daerah rawa (bik rawa pedalaman maupun di daerah pantai) dengan akumulasi bahan organik cukup tebal, landform ini dapat berupa kubah ataupun tidak.

4.2.5.Group Eolin, simbol:E.

Landform yang terbentuk oleh proses pengendapan bahan halus (pasir,debu) yang terbawa angin.

4.2.6.Group Karts, simbol:K.

Landform yang didominasi oleh bahan batu gamping keras dan masif, pada umumnya keadaan topografi daerah tidak teratur. Landform ini terbentuk terutama karena proses pelarutan bahan batuan penyusun, dengan terjadinya antara lain: sungai dibawah tanah, gua-gua dengan stalaktit dan stalagnit, sinkhole, doline, uvala, polje, dan tower karts.

4.2.7.Group Volkanik, simbol:V.

Landform yang terbentuk karena aktivitas gunung api/volkan. Landform ini bercirikan adanya bentukan kerucut volkan, aliran lahar, lava ataupun wilayah yang merupakan akumulasi bahan organik.

4.2.8.Group Tektonik dan Struktural, simbol:T.

Landform yang terbentuk sebagai akibat dari proses tektonik (orogenesis dan epirogenesis) berupa proses angkatan, lipatan dan atau patahan. Umumnya landform ini mempunyai bentukan yang ditentukan oleh proses-proses tersebut dan karena sifat litologinya (struktural).

4.2.9.Group Aneka, simbol:X.

Bentukan alam atau hasil kegiatan manusia yang tidak termasuk dalam group yang telah dipaparkan di atas, misalnya: lahan rusak, singkapan batuan, penambangan, landslide, wilayah sangat berbatu dan lain-lain.

4.3. Perkembangan Klasifikasi Tanah

Sistem klasifikasi tanah di dunia terbagi menjadi dua yaitu klasifikasi secara alami dan klasifikasi secara teknis. Klasifikasi secara alami adalah klasifikasi tanah yang didasarkan atas sifat tanah yang dimilikinya tanpa menghubungkan dengan tujuan penggunaan tanah tersebut. Sedangkan klasifikasi teknis ialah klasifikasi tanah berdasarkan sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kemampuan tanah untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Sistem klasifikasi tanah secara alami di dunia ini berbagai macam, karena banyak negara-negara yang menggunakan sistem klasifikasi sesuai dengan perkembangan yang terjadi di negaranya. Di Indonesia sendiri sekarang ini paling sedikit dikenal tiga sistem klasifikasi tanah yang masing-masing dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor, FAO/UNESCO dan USDA  (Amerika Serikat).

Seperti halnya klasifikasi hewan atau tanaman, klasifikasi tanah juga mengenal berbagai tingkat kategori klasifikasi. Pada kategori tinggi tanah dibedakan secara garis besarnya, kemudian pada kategori berikutnya dibedakan lebih terperinci dan seterusnya sehingga pada kategori paling rendah tanah dibedakan dengan sangat terperinci. Sifat-sifat tanah yang digunakan untuk membedakan tanah pada kategori tinggi juga digunakan sebagai pembeda pada kategori yang rendah, sehingga jumlah faktor pembeda semakin meningkat dengan semakin rendahnya kategori.

Sistem pemetaan di Indonesia sendiri sudah dimulai sejak dulu yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah atau lembaga lain dalam hal pemetaan tanah. Umumnya pemetaaan sebelum tahun 70-an belum dilakukan secara teratur. Pemetaan tanah secara sistematik baru dimulai tahun 1977 oleh Pusat Penelitian Tanah (PPT) yang bekerjasama dengan FAO (Dessaunettes, 1977) yang dikenal dengan sistem Klasifikasi Landform Dessaunettes yang manualnya dicantumkan dalam buku, Catalogue Landform for Indonesia, tahun 1977. kemudian berkembang sistem pemetaaan tanah pada proyek RePPProT (Regional Phisycal Planning Programme for Transmigration,1980-an), dan proyek LREP (Land Resource Evaluation and Planning, pada tahun 1980-an). Pada prinsipnya ketiga metoda untuk inventarisasi sumber daya ini dilakukan dengan pendekatan lingkungan yang didasarkan pada proses geomorfik dan asal-usulnya. Perbedaan utama adalah ada pada pelaksanaanya, sehingga diperoleh perbedaan kedetilan data yang dihasilkan. Dalam pengumpulan data ketiga konsep yang berkembang di Indonesia ini adalah dengan menggunakan penginderaan jauh.

Berikut ini penjabaran secara umum mengenai sistem-sistem klasifikasi tanah yang telah dipergunakan seluruh dunia termasuk Indonesia, yang terdiri dari sistem taksonomi tanah USDA, sistem FAO/UNESCO, dan sistem klasifikasi yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor.

4.3.1.Taksonomi Tanah USDA

Sistem klasifikasi tanah baru dikembangkan oleh Amerika Serikat dengan nama Soil Taxonomy ( USDA, 1975, 1999) menggunakan enam kategori yaitu ordo, subordo, greatgroup, subgroup, family, seri. Sistem ini merupakan sistem terbaru baik mengenai cara-cara penamaan maupun definisi mengenai horizon penciri maupun sifat-sifat penciri tanah lain yang digunakan untuk menentukan jenis-jenis tanah.

4.3.2.Sistem FAO/UNESCO

Sistem ini dibuat dalam rangka pembuatan peta tanah dunia skala 1: 5.000.000 oleh FAO/UNESCO. Untuk ini telah dikembangkan suatu sistem klasifikasi dengan dua kategori. Kategori yang pertama kurang lebih setara dengan kstegori greatgroup sedangkan kategori kedua mirip dengan subgroup dalam sistem taksonomi USDA. Kategori yang lebih tinggi dan lebih rendah dari kedua kategori tersebut tidak dikembangkan. Untuk pengklasifikasian, digunakan sistem horizon-horizon penciri, sebagian dari kriteria-kriteria horizon penciri pada taksonomi tanah USDA dan sebagian lagi dari sistem klasifikasi tanah FAO sendiri.

4.3.3.Sistem Pusat Penelitian Tanah Bogor

Sistem klasifikasi tanah yang berasal dari PPT-Bogor dan telah banyak dikenal di Indonesia adalah sistem Dudal-Soepraptohardjo (1957). Sistem ini mirip dengan sistem Amerika Serikat terdahulu (Baldwin, Kellog, dan Thorp,1938; Thorp dan Smith,1994) dengan beberapa modifikasi dan tambahan. Dengan dikenalnya sistem FAO (1974) dan sistem USDA yang baru (Soil Taxonomy,1975), sistem tersebut telah pula mengalami penyempurnaan. Perubahan tersebut terutama menyangkut definisi jenis-jenis tanah (greatgroup) dan macam tanah (subgroup). Dengan perubahan-perubahan definisi tersebut maka disamping tanah-tanah lama yang tetap dipertahankan dikemukakanlah nama-nama baru yang kebanyakan mirip dengan dengan nama-nama tanah dari FAO, sedang sifat-sifat pembedanya digunakan horizon-horizon penciri seperti dikemukakan oleh USDA dalam Soil Taxonomy ataupun oleh FAO dalam Soil Map of the World.

4.3.4. Berikut ini padanan nama tanah menurut berbagai sistem klasifikasi tanah Indonesia(disederhanakan)

Sistem Dudol-Soepraptohardjo (1957-1961)

Modifikasi 1978/1982

(PPT)

FAO/UENESCO

(1974)

USDA Soil Taxonomy

(1975 – 1990)

  1. Tanah Aluvial
  1. Andosol
  1. Brown Forest Soil
  2. Grumusol
  1. Latosol
  1. Litosol
  1. Mediteran
  1. Organosol
  1. Podsol

10.  Podsolik Merah Kuning

11.  Podsolik Coklat

12.  Podsolik Coklat kelabu

13.  Regosol

14.  Renzina

15.  –

Tanah aluvial

Andosol

Kambisol

Grumusol

–          Kambisol

–          Latosol

–          Lateritik

Litosol

Mediteran

Organosol

Podsol

Podsolik

Kambisol

Podsolik

Regosol

Renzina

Ranker

Fluvisol

Andosol

Cambisol

Vertisol

–          Cambisol

–          Nitosol

–          Ferralsol

Litosol

Luvisol

Histosol

Podsol

Acrisol

Cambisol

Acrisol

Regosol

Renzina

Ranker

–          Entisol

–          Inceptisol

Andisol

Inceptisol

Vertisol

–          Inceptisol

–          Ultisol

–          Oxisol

Entisol (lithic Subgrup)

Alfisol/inceptisol

Histosol

Spodosol

Ultisol

Inceptisol

Ultisol

Entisol/Inceptisol

Rendoll

4.4. TANAH-TANAH PERTANIAN UTAMA DAN SIFAT-SIFATNYA

Potensi setiap jenis tanah untuk pertanian sangat ditentukan oleh sifat fisik, morfologi (tekstur, kedalaman tanah, drainase), dan sifat kimia tanah yang mencakup unsur-unsur yang berpengaruh terhadap status kesuburan tanah (N, P, K, dan unsur mikro) dan unsur-unsur yang bersifat toksik (aluminium, bahan sulfidik, garam). Sedangkan sifat mineralogi tanah akan sangat berpengaruh terhadap manajemen/pengolahan tanah, pengelolaan lahan pada tanah-tanah bertipe 2:1, serta terhadap kualitas produk tanaman.

Melalui berbagai penelitian yang telah dilakukan, tanah yang paling subur merupakan tanah yang berasal dari gunung berapi atau bahan alluvial baru. Tanah ini  pula yang telah umum digunakan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Ironisnya populasi penduduk yang menempati jenis tanah tersebut meningkat serta terlalu padat dan jauh dari kelayakan pemukiman yang ada. Pulau Jawa, merupakan salah satu cerminan serta daerah/pulau percotohan yang terlihat. Selain di Pulau Jawa, Sumatera juga merupakan daerah yang mana tanah pertanian serta perkebunan dikembangkan dikarenkan tingkat kesuburan tanah yang relatif tinggi.

Tanah-tanah yang dimanfaatkan serta relatif layak untuk tanah pertanian di Indonesia antara lain : Inceptisol, Entisol, Vertisol, Alfisol. Pengolahan serta pengusahaan tanah tersebut sebagian besar telah dilakukan oleh manusia (masyarakat tani). Walaupun termasuk ke dalam kelompok tanah yang subur, akan tetapi dalam peningkatan produksinya masih diperlukan beberapa pengelolaan serta pengusahaan yang seintensif mungkin, yang mana azasnya harus berkesinambungan serta seimbang dengan ekstensifikasi lahan pertanian. Peningkataan kualitas tanah melalui pengelolaan yang tepat antara lain melalui pengaplikasian pemupukan yang sesuai dengan takaran serta dosis yang direkomendasikan. Selain itu pengusahaan yang tepat, yaitu dengan penggalakan panca usaha tani yang ada :

  1. Memperbaiki cara-cara budidaya tanaman (pengolahan) tanah
  2. Menggunakan varietas unggul
  3. Pemupukan
  4. Perlindungan terhadap hama penyakit tanaman
  5. Irigasi yang efisien (untuk padi sawah dan tanaman lain yang perlu irigasi)

Seperti yang telah diketahui, bahwa tanah-tanah yang belum diusahakan secara optimal di Indonesia dikarenakan berbagai faktor yang kurang dalam kesuburan tanah yang ada merupakan tanah marginal.

Adapun beberapa pertanian yang telah dipantau khususnya untuk daerah Indonesia bagian timur, umumnya semua wilayah yang ada di Indonesia antara lain :

Histosol di Indonesia, umumnya kurang berpotensi (marjinal), karena gambutnya yang tebal (> 2m) dan miskin unsur hara. Gambut yang ketebalannya kurang dari 1m atau yang mendapat pengayaan bahan mineral seperti yang terdapat di sepanjang sungai cukup berpotensi untuk sektor pertanian, baik untuk tanaman pangan maupun tanaman perkebunan walaupun ketebalan gambutnya lebih dari 2m.

Entisol terbentuk dari berbagai bahan induk, dan penyebarannya mulai dari dataran rendah pada topografi datar atau cekung di lahan basah sampai dataran tinggi pada topografi berbukit dan bergunung. Entisol yang terbentuk dari endapan sungai berpotensi untuk pertanian lahan basah (padi) dan perikanan air tawar. Entisol yang terdapat pada lahan kering, yang terbentuk dari bahan sedimen, batu gamping, terlebih jika dari bahan vulkanik, cukup berpotensi untuk pertanian tanaman pangan, perkebunan, buah-buahan, dan tanaman pakan ternak.

Inceptisols terbentuk dari bebagai bahan induk. Penyebarannya dimulai dari dataran rendah pada topografi datar atau cekung di lahan basah sampai dataran tinggi pada topografi berbukit dan bergunung. Inceptisols yang terdapat di lahan basah (dataran aluvial) berpotensi untuk pertanian lahan basah (padi dan perikanan air tawar), sedangkan yang terdapat di lahan kering sesuai untuk tanaman pagan lahan kering dan tanaman tahunan termasuk buah-buahan jika tanahnya cukup dalam > 50 cm (bukan lithic subgroup), dan untuk tanaman pakan ternak.

Vertisol pada umumnya terdapat di dataran rendah (<500 m dpl.) yang dapat terbentuk dari bahan koluvio-aluvium yang berasal dari lapukan batu gamping, sedimen, atau bahan vulkanik. Sifat fisik yang kurang baik, yaitu bertekstur liat sangat halus (very fine clay), sangat lekat sehingga sulit diolah, tidak stabil peka erosi dan mudah longsor (land slides). Pada musim kemarau tanah mengkerut (shringkage) sehingga terjadi rekahan (cracks), sedangkan pada musim hujan mengembang (swell) sehingga rekahan tersebut menutup kembali. Sifat kimia vertisol cukup baik asalkan kelembapannya terjaga. Berpotensi untuk tanaman pangan, dan tanaman tahunan (perkebunan).

Andisols terbetuk dari abu dan/atau pasir vulkan. Penyebarannya terdapat pada landform volkan pada ketinggian lebih dari 900 m dpl. (pada topografi bergunung). Tanah ini mempunyai sifat fisik, morfologi dan kimia tanah yang cukup baik. Tekstur tanahnya ringan (lempung berdebu), struktur tanahnya berbutir, konsistensi gembur sehingga mudah diolah, dan kemampuan meretensi air cukup tinggi. Tanah ini sangat berpotensi untuk tanaman sayuran dan umbi-umbian dataran tinggi, karena selain sifat tanahnya baik, suhu udara relatif rendah (<22oC).

Alfisols dapat terbentuk dari pelapukan dari batu gamping, batu plutonik, bahan vulkanik atau batuan sedimen. Penyebarannya terdapat pada landform karts, tektonik/struktural, atau volkan, yang biasanya pada topografi berombak, bergelombang sampai berbukit. Sifat fisik, morfologi dan kimia tanah relatif baik, mengandung basa-basa Ca, Mg, K,, dan Na, sehingga reaksi tanah biasanya netral (pH antara 6.50 – 7.50) dan kejenuhan basa > 35%. Tergantung keadaan topografi, tanah ini berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan kering dan/atau tahunan.

Mollisols seperti halnya Alfisols dapat terbentuk dari lapukan batu gamping, batuan plutonik, bahan vulkanik atau batuan sedimen. Sifat fisik, morfologi dan kimia tanah umunya sangat baik. Bahan organik yang relatif tinggi, basa-basa Ca, Mg, K, dan Na, sehingga reaksi tanahnya netral (6.50-7.50) kejenuhan basa > 50%. Tanahnya stabil dengan bahan organik yang relatif tinggi dan struktur tanah yag berbutir (granular) dan konsistensi yang gembur terutama di lapisan atas (epipedon mollik), tanah ini sangat berpotensi untuk pertanian, namun tergantung dari keadaan topografinya.

Ultisols umunya terbentuk dari batuan sedimen terutama batu liat dan batu pasir, tetapi sebagian ada juga yang terbentuk dari bahan vulkanik tua (tufa) yang bersifat asam, karena reaksi tanahnya tergolong masam atau sangat masam (pH 4-5), miskin akan basa-basa (Ca, Mg, K, dan Na), tetapi alumunium (Al) biasanya tinggi. Umunya terdapat di daerah yang beriklim basah (Kalimantan dan Irian Jaya). Dengan teknologi serta pengelolaan tanah yang tepat, maka tanah ini berpotensi untuk tanaman perkebunan terutama karet, kelapa sawit, kelapa, kakao, dan buah-buahan (durian, duku, manggis, jeruk, rambutan).

Oksisols terutama terbentuk dari batuan plutonik (ultra basis, pridotit) dan sedikit dari batuan sedimen atau bahan vulkanik. Sifat fisik serta morfologi yang cukup baik sehingga mudah diolah, etapi sifat kimianya kurang baik, antara lain KTK sangat rendah (<12 cmol). Namun dengan teknologi yang tersedia, kendala tersebut dapat diatas, sehingga tanah ini berpotensi untuk tanaman perkebunan.

Pada tabel hasil penelitian uji tanah dapat dilihat pola penyebaran serta jenis tanah-tanah pertanian di Indonesia melalui pengujian tanah pertanian yang ada. Dengan menambil salah satu karya tulis M. Al-Jabri (Balai Penelitian Tanah Bogor), yang berjudul Perkembangan Uji Tanah dan Strategi Program Uji Tanah Masa Depan di Indonesia beliau memaparkan kajian tentang pelaksanaan uji tanah dengan beberapa analisis tanah yang bervariatif yang telah berjalan dari tahun 1970-an. Karya tulis ini kami jadikan sebagai rujukan serta gambaran beberapa potensi tanah-tanah pertanian utama yang dilihat dari fungsi serta sifatnya dalam mendukung produktifitas pertanian Indonesia melalui berbagai teknik pengelolaan tanah yang tepat.

4.4.1. Sifat-sifat Tanah Pertanian (sebuah kajian pengelolaan tanah dari segi kesuburan tanah)

Kembali kepada Tabel 1.  mengenai uji tanah diatas, dapat dilihan beberapa metode (ekstraksi) P yang sering digunakan di Indonesia ialah larutan asam keras HCl 25% (nisbah 1:%), Bray 1 (HCl 0.025 N + NH4F 0.03 N; nisbah 1 : 10) dll. Sifat yang dapat dilihat adalah pada tanah sawah, dimana ketersediaan P meningkat (De Geus 1973), sehingga penggenangan meningkatkan ketersediaan P serta P yang diserap tanaman karena ferric phosphate [Fe2(H2PO4)3] direduksi menjadi ferrous phosphate [FeH2PO4]. Ini semua membuktikan bahwa padi yang ditanam pada kondisi tergenang kurang respons terhadap pupukP selama status awal ditentukan dengan HCl 25% (P potensial) pada nilai btas kritisnya lebih besar 20 P2O5/100 gr. Sebaliknya pada tanah kering dengan P awal pada nilai batas kritisnya lebih kecil 20 P2O5 /100gr. Indeks ketersediaan P melalui pendekatan serapan P di daerah tropika menjadi salah satu pertimbangan utamadalam pengelolaan tanah.

Untuk tanah Ultisol/podsolik menurut Sistem Pusat Penelitian Tanah Bogor (1982) merupakan tanah dengan horizon penimbunan liat (horizon argilik), dan kejenuhan basa yang kurang dari 50% tidak mempunyai horizon albik. Tanah Alluvial merupakn tanah yang berasal dari endapan baru berlapis-lapis , bahan organic jumlahnya berubah tidak teratur dengan kedalaman. Hanya terdapat epipedon orchrik, histik atau sulfuric, kandungan pasir kurang dari 60%. Sebelumnya telah disebutkan bahwa Tanah vulkanis adalah tanah yang terbentuk dari lapukan materi letusan gunung berapi yang subur mengandung zat hara yang tinggi. Jenis tanah vulkanik dapat dijumpai di sekitar lereng gunung berapi.

BAB 5.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

–          Luas daerah Indonesia yaitu 2.539.435 km², dan memiliki penduduk berjumlah 222 juta jiwa pada tahun 2006 ( wikipedia.org, atlas 2000 ).

–          Ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi proses pembentukan tanah, antara lain iklim, organisme, bahan induk, topografi, dan waktu.

–          Unsur-unsur iklim yang mempengaruhi proses pembentukan tanah terutama ada dua, yaitu suhu dan curah hujan.

–          Bahan induk terdiri dari batuan vulkanik, batuan beku, batuan sedimen (endapan), dan batuan metamorf.
Batuan induk itu akan hancur menjadi bahan induk, kemudian akan mengalami pelapukan dan menjadi tanah.

–          Indonesia adalah negara kepulauan dengan daratan yang luas dengan jenis tanah yang berbeda-beda. Berikut ini adalah macam-macam / jenis-jenis tanah yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

–          Tanah Humus

–          Tanah Pasir

–          Tanah Alluvial / Tanah Endapan

–          Tanah Podzolit

–          Tanah Vulkanik / Tanah Gunung Berapi

–          Tanah Laterit

–          Tanah Mediteran / Tanah Kapur

–          Tanah Gambut / Tanah Organosol

Tanah-tanah yang dimanfaatkan serta relatif layak untuk tanah pertanian di Indonesia antara lain : Inceptisol, Entisol, Vertisol, Alfisol.

5.2. Saran

Semoga dengan disusunnya makalah ini dapat menjadi sedikit masukan bagi peningkatan-peningkatan dalam pengelolaan sumberdaya tanah setelah penjabaran betapa pentingnya nilai tanah untuk dikelola dengan sebaik-baiknya.

Diharapkan dengan berkembangnya ilmu ini akan menjadi sumbangan berharga bagi pengetahuan tentang pengelolaan tanah dan air.

DAFTAR PUSTAKA

– Balai  Besar Penelitian dan Pengembanagan Sumber Daya Lahan Pertanian.

Email : Csar@indosat.net.id.

– Departemen Komunikasi dan Informasi, 2005.

– Hardjowigeno Sarwono,Prof.,Dr.,M.Sc. 2002. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, jakarta.

– Madjid Abdul,MS. Bahan koliah online,”Dasar-dasar Ilmu Tanah”.Universitas Sriwijaya.

– Al-jabri-M. Jurnal: “Perkembangan Uji Tanah dan Strategi Program Uji Tanah

Masa Depan di Indonesia”.