Pengelolaan Sumberdaya Air

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air merupakan sumber kehidupan seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi ini. Seiring dengan pertambahan populasi manusia, maka kebutuhan akan air semakin menjadi bahan rebutan karena menyusutnya sumber-sumber mata air yang ada. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, industri, dan pertanian meningkat, tetapi gagal dipenuhi dan diantisipasi oleh berbagai institusi pemerintah yang bertanggung jawab bagi penyediaan sarana air yang bersih dan memadai.

Hal ini dapat dilihat dari reaksi berbagai pihak yang seakan-akan kebakaran jenggot dengan munculnya gejala kekeringan di banyak daerah di Indonesia akhir-akhir ini. Kedua, regulasi dan institusi yang mengatur SDA yang ada saat ini sangat kompleks, tumpang tindih, dan tidak relevan terhadap berbagai kecenderungan (trends) yang berlaku. Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 1974 mengenai Pengairan, serta sejumlah peraturan turunan lainnya yang mengatur sektor air tidak lagi memadai sebagai instrumen hukum dalam mengatur sumber daya air yang perkembangan masalahnya sudah multidimensional.

Dengan desakan dan pinjaman (loans) dari lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, proses reformasi sektor SDA dimulai sejak tahun 1999. Proses ini diawali dengan menyiapkan perangkat UU Sumber Daya Air yang baru untuk menggantikan UU Pengairan, yang menurut penulis prosesnya dipaksa untuk dipercepat dan tertutup. Saat ini RUU Sumber Daya Air sedang dibahas di DPR. Upaya lain yang sedang dilakukan adalah melakukan sejumlah perubahan kebijakan di level makro dan mikro, misalnya kebijakan mengenai irigasi, pembentukan sistem dan jaringan data hidrologi nasional.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah reformasi SDA dilandasi oleh paradigma yang tepat dan apakah reformasi tersebut mampu memberikan jawaban atas berbagai tantangan yang dihadapi sektor ini. Dan dengan membaca RUU Sumber Daya Air, dapat dipahami adanya cara pandang yang berubah atas sumber daya air. Air tidak lagi sekadar barang publik (public goods), tetapi sudah menjadi komoditas ekonomi. Pandangan tradisional melihat air sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapa pun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons), sumber daya alam yang dikelola secara kolektif, bukan untuk dijual atau diperdagangkan guna keuntungan tertentu. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa tidak ada seorang pun dapat menciptakan air. Paradigma tradisional ini bertentangan dengan paradigma pengelolaan air modern yang berdasarkan pada nilai ekonomi intrinsik dari air, yang dilandasi pada asumsi adanya keterbatasan dan kelangkaan air, serta dibutuhkannya investasi atau biaya untuk penyediaan air bersih.

Perdebatan antar kelompok yang mengusung kedua paradigma tersebut masih terus berlangsung. Kalangan Organisasi Nonpemerintah (OrNop) menganggap bahwa air sudah seharusnya menjadi bagian hak asasi manusia dan menjadi tugas negara untuk menyediakannya. Dengan demikian, segala upaya komodifikasi dan privatisasi air seharusnya tidak diperbolehkan. Konferensi Dublin mengenai Air dan Lingkungan di tahun 1992 menyatakan bahwa hak dasar (basic right) yang pertama bagi semua umat manusia adalah akses kepada air dan sanitasi dengan harga yang terjangkau (FAO, 1995).

Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak- hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada November tahun lalu mendeklarasikan bahwa air adalah sebuah hak yang hakiki (fundamental right). Komite ini juga menyatakan bahwa air adalah harus diberlakukan sebagai barang sosial dan kultural, dan bukan komoditas ekonomi belaka.

Dalam konteks Indonesia, arah reformasi SDA dapat dilihat dari paradigma dominan yang melandasinya. Dalam RUU SDA, paradigma air sebagai komoditas ekonomi lebih diutamakan. Walaupun dinyatakan bahwa penguasaan air ada di tangan negara dan pengelolaan air harus mempertimbangkan fungsi sosial dan lingkungan, RUU SDA ini membuka kesempatan yang sangat besar bagi upaya komersialisasi dan komodifikasi air.

Indikasinya adalah kesempatan swasta untuk terlibat secara luas dalam pengusahaan air lewat pemberian hak guna usaha. Jika sebelumnya sektor swasta hanya terlibat pada pengusahaan dan pengelolaan air minum, RUU SDA memungkinkan peran swasta pada seluruh bidang perairan, dari penyediaan air bersih, air minum, hingga pemenuhan air baku untuk pertanian.

Penjelasan pasal RUU SDA juga menyatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan peran masyarakat dan swasta, pemerintah dapat menjalin kerja sama kemitraan dengan badan usaha dan perorangan dalam bentuk pembiayaan investasi pembangunan prasarana sumber daya air maupun dalam penyediaan jasa pelayanan atau pengoperasian prasarana pengairan.

Bentuknya dapat berupa kontrak BOT, perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak manajemen, kontrak konsesi, kontrak sewa, dan sebagainya. Implikasi dari dominannya peran swasta adalah dalam hal menetapkan biaya penyediaan air dan harga air. Dari pengalaman selama ini, perusahaan swasta selalu menetapkan prinsip pemulihan biaya penuh (full cost recovery) untuk memaksimalkan profit dan mempercepat pengembalian modal. Prinsip tersebut pada praktiknya bertentangan dengan hak rakyat atas air, terlebih pada kelompok masyarakat miskin. Kelompok masyarakat miskin kota dan petani kecil adalah contoh kelompok-kelompok yang rentan terampas hak dasarnya atas air.

Dominannya paradigma air sebagai komoditas ekonomi dalam RUU SDA melahirkan sejumlah tantangan untuk memenuhi tujuan akhir dari proses reformasi ini, yaitu penyediaan air yang efisien dan berkeadilan (equitable). Sangatlah penting memberi perlindungan terhadap hak atas air sebagai hak dasar umat manusia dari upaya-upaya komersialisasi air yang berlebihan dan menjamin bahwa reformasi sumber daya air dapat memberikan kesempatan dan pelayanan yang lebih baik bagi kelompok miskin dengan harga yang terjangkau. Laporan Pemerintah Indonesia pada World Water Forum III di Kyoto, Jepang, menyatakan bahwa 80 % populasi belum memiliki akses kepada air yang mengalir (running water).

Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sesungguhnya masih memiliki kewajiban yang besar untuk memenuhi hak dasar rakyat Indonesia atas air. Namun, kenyataannya, untuk dapat memenuhi kewajiban tersebut, diperlukan sumber dana yang besar untuk pembangunan infrastruktur pengairan, pemulihan, dan perawatan sumber daya air. Diperkirakan, pemerintah membutuhkan dana sebesar Rp 5,1 triliun setiap tahun untuk menyediakan air bersih bagi 40 persen populasi sampai tahun 2015. Di tengah masalah ekonomi, penyediaan dana tersebut menjadi kendala tersendiri bagi pemerintah.

Keterlibatan sektor swasta dalam berinvestasi di sektor ini mungkin dapat menjadi salah satu solusi. Akan tetapi, jika tidak diatur dengan hati-hati, dampaknya akan meningkatkan harga jual air yang justru dapat membatasi dan mengurangi akses masyarakat atas air bersih dan sanitasi. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu melakukan beberapa hal.

Pertama, melakukan pengawasan dan kontrol yang ketat terhadap biaya modal dari suatu investasi swasta dalam pengusahaan sumber daya air untuk mencegah pembebanan harga/tarif yang berlebihan kepada publik.

Kedua, perlu mekanisme subsidi yang terarah yang menutupi kesenjangan antara tingkat kemampuan membayar masyarakat dan harga penyediaan air yang wajar. Mekanisme ini dapat menjadi alat pemerataan keadilan jika dirancang secara baik dan tepat.

Mekanisme lain yang menjamin hak dasar rakyat atas air dan perlindungan dari eksploitasi yang berlebihan akibat ketidaksempurnaan pasar harus terus dielaborasi dan direalisasikan. Ketiga, mendorong otoritas-otoritas yang bertanggung jawab atas penyediaan dan pengusahaan air untuk menjalankan sistem yang transparan, bertanggung jawab, dan melibatkan partisipasi publik yang efektif guna menjamin check and balances.

Tantangan lainnya adalah bagaimana agenda-agenda reformasi SDA dapat diarahkan pada upaya-upaya yang berwawasan lingkungan dalam rangka memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat dan menjamin ketersediaan air bagi generasi yang akan datang. Prinsip-prinsip konservasi dan pemeliharaan harus mendapatkan prioritas utama.

Prinsip pembuat polusi harus membayar mahal (polluters pay principle) harus diterapkan secara konsisten untuk mencegah kerusakan sumber daya air yang lebih luas. Di lain pihak, masyarakat harus mulai belajar melakukan penghematan penggunaan air sebagai wujud pengakuan hak orang lain atas air.

Sejumlah tujuan yang disebutkan di atas tidak akan dapat tercapai tanpa, pertama-tama, memiliki struktur manajemen air yang baik yang memiliki sumber daya modal dan manusia untuk menjalankan sistem yang efisien, efektif, dan responsif. Pemerintah mau tidak mau harus melakukan investasi sumber daya manusia dan finansial dalam sistem pengelolaan air yang dimiliki.

Efisiensi dalam sistem pengelolaan sumber daya air tidak melulu harus dipaksakan pada bentuk pengelolaan oleh swasta, sebagaimana yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga keuangan multilateral, khususnya Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Ada banyak contoh di mana pengelolaan sumber daya air berbasis kepemilikan dan manajemen publik berhasil baik.

Sejumlah penelitian menyatakan bahwa utilitas air milik publik dapat bekerja dengan baik apabila utilitas itu dikelola dengan melibatkan peran yang aktif dan konstruktif dari serikat pekerja, transparan, dan bertanggung jawab atas konsumen atau pengguna air serta manajemen yang otonom dan bebas dari interferensi politik.

Reformasi SDA harus mampu mempersiapkan aspek kelembagaan dan peraturan yang dapat menjadi platform bersama bagi tujuan-tujuan di atas.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penyelesaian makalah mata kuliah Pengelolaan Tanah dan Air mengeni Sumberdaya Air adalah :

–       Sebagai salah satu prasyarat mengikuti mata kuliah Pengelolaan Tanah dan Air’

–       Untuk mengetahui perkembangan ketersediaan air yang ada di dunia

–       Mengetahui pengembangan sumber-sumber air

–       Mengetahui beberapa teknik konservasi air yang diterapkan untuk keberlangsungan hidup manusia (khususnya) dan makhluk hidup umumnya

–       Mengetahui permasalahan kebutuhan air

–       Mengetahui Undang-undang keairan yang berlaku.

1.3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam mendapatkan data mengenai sumberdaya air yang telah kami susun, maka didapat melalui beberapa cara yaitu :

–       Dengan membaca beberapa referensi buku mengenai sumberdaya air;

–       Download sarana internet dengan beberapa sumber (website) yang ada;

–       Dengan sistem diskusi kelompok/antar kelompok

BAB II

SUMBERDAYA AIR DAN PENGELOLAANNYA

2.1. Perkembangan Ketersediaan Air

Air merupakan elemen yang paling melimpah di atas Bumi, yang meliputi 70% permukaannya dan berjumlah kira-kira 1,4 ribu juta kilometer kubik. Apabila dituang merata di seluruh permukaan bumi akan terbentuk lapisan dengan kedalaman rata-rata 3 kilometer. Namun hanya sebagian kecil saja dari jumlah ini yang benar-benar dimanfaatkan, yaitu kira-kira hanya 0,003%. Sebagian besar air, kira-kira 97%, ada dalam samudera atau laut, dan kadar garamnya terlalu tinggi untuk kebanyakan keperluan. Dari 3% sisanya yang ada, hampir semuanya, kira-kira 87 persennya,tersimpan dalam lapisan kutub atau sangat dalam di bawah tanah.

Dalam satu tahun, rata-rata jumlah tersebut tersisa lebih dari 40.000 kilometer kubik air segar yang dapat diperoleh dari sungai-sungai di dunia. Bandingkan dengan jumlah penyedotan yang kini hanya ada sedikit di atas 3.000 kilometer kubik tiap tahun. Ketersediaan ini (sepadan dengan lebih dari 7.000 meter kubik untuk setiap orang) sepintas kelihatannya cukup untuk menjamin persediaan yang cukup bagi setiap penduduk, tetapi kenyataannya air tersebut seringkali tersedia di tempat-tempat yang tidak tepat. Misalnya, lembah sungai Amazon memiliki sumber yang cukup tetapi mengekspor air dari sini ke tempat-tempat yang memerlukan adalah tidak ekonomis.

Selain itu, angka curah hujan sering sangat kurang dapat dipercaya, sehingga persediaan air yang nyata sering jauh di bawah angka rata-rata yang ditunjukkan. Pada musim penghujan, hujan sangat hebat, namun biasanya hanya terjadi beberapa bulan setiap tahun; bendungan dan tandon air yang mahal diperlukan untuk menyimpan air untuk bulan-bulan musim kering dan untuk menekan kerusakan musibah banjir. Bahkan di kawasan-kawasan “basah” ini angka yang turun-naik dari tahun ke tahun dapat mengurangi persediaan air yang akan terasa secara nyata.

Sedangkan di kawasan kering seperti Sahel di Afrika, masa kekeringan yang berkepanjangan dapat berakibat kegagalan panen, kematian ternak dan merajalelanya kesengsaraan dan kelaparan. Pembagian dan pemanfaatan air selalu merupakan isu yang menyebabkan pertengkaran, dan sering juga emosi.

Keributan masalah air bisa terjadi dalam suatu negara, kawasan, ataupun berdampak ke benua luas. Di Afrika, misalnya, lebih dari 57 sungai besar atau lembah danau digunakan bersama oleh dua negara atau lebih; Sungai Nil oleh sembilan, dan Sungai Niger oleh 10 negara. Sedangkan di seluruh dunia, lebih dari 200 sungai, yang meliputi lebih dari separo permukaan bumi, digunakan bersama oleh dua negara atau lebih.

Selain itu, banyak lapisan sumber air bawah tanah membentang melintasi batas-batas negara, dan penyedotan oleh suatu negara dapat menyebabkan ketegangan politik dengan negara tetangganya. Karena air yang dapat diperoleh dan bermutu bagus semakin langka, maka percekcokan dapat semakin memanas. Di seluruh dunia, kira-kira 20 negara, hampir semuanya di kawasan negara berkembang, memiliki sumber air yang dapat diperbarui hanya di bawah 1.000 meter kubik untuk setiap orang, suatu tingkat yang biasanya dianggap kendala yang sangat mengkhawatirkan bagi pembangunan, dan 18 negara lainnya memiliki di bawah 2.000 meter kubik untuk tiap orang.

Lebih parah lagi, penduduk dunia yang kini berjumlah 5,3 miliar mungkin akan meningkat menjadi 8,5 miliar pada tahun 2025. Beberapa ahli memperkirakan bahwa tingkat itu akan menjadi stabil pada angka 16 miliar orang. Apapun angka terakhirnya, yang jelas ialah bahwa tekanan yang sangat berat akan diderita oleh sumber-sumber bumi yang terbatas. Dan laju angka kelahiran yang tertinggi justru terjadi tepat di daerah yang sumber-sumber airnya mengalami tekanan paling berat, yaitu di negara-negara berkembang.

Dalam tahun-tahun belakangan ini, sebagian besar angka pertumbuhan penduduk terpusat pada kawasan perkotaan. Pertumbuhan penduduk secara menyeluruh di negara-negara berkembang kira-kira 2,1 persen setahun, tetapi di kawasan perkotaan lebih dari 3,5%. Daerah kumuh perkotaan atau hunian yang lebih padat di kota yang menyedot pemukim baru termiskin tumbuh dengan laju sekitar 7% setahun.

Hunian pinggiran yang lebih padat sering dibangun secara membahayakan di atas tanah yang tak dapat digunakan untuk apapun, seperti bukit-bukit terjal yang labil atau daerah-daerah rendah yang rawan banjir. Kawasan semacam itu tidak sesuai dengan perencanaan kota yang manapun, dipandang dari segi tata-letak ataupun kebakuan. Karena kawasan semacam itu dianggap sah secara hukum dan bersifat “darurat”, pemerintah kota biasanya tidak cepat melengkapinya dengan prasarana seperti jalan, gedung sekolah, klinik kesehatan, pasokan air, dan sanitasi.

Namun sebenarnya hunian semacam ini tak pelak akan menjadi pola bagi kota yang harus dilayani dengan prasarana modern; hal ini mempunyai implikasi-implikasi baik untuk pemecahan secara teknis maupun secara lembaga yang akan diperlukan sebagai syarat supaya segala layanan mencapai semua orang dan berkesinambungan.

Di sementara negara, masalah terbesar mengenai persediaan air berkembang bukan hanya dari masalah kelangkaan air dibanding dengan jumlah penduduk, melainkan dari kekeliruan menentukan kebijakan tentang air, dan baru menyadari masalah-masalah tersebut lama setelah akibat yang tak dikehendaki menjadi kenyataan. Jadi meskipun penambahan investasi dalam sektor ini diperlukan, penambahan itu perlu disertai dengan perubahan: Prioritas utama haruslah pada cara pemanfaatan paling bijak terhadap investasi besar yang telah ditanam dalam sektor ini setiap tahun.

2.2 Sumber Air

Air adalah asal segala macam bentuk kehidupan di planet bumi ini. Lebih dari 98 persen dari semua air di daratan tersembunyi di bawah permukaan tanah dalam pori-pori batuan dan bahan-bahan butiran. Dua persen sisanya terlihat sebagai air di sungai, danau dan reservoir. Setengah dari dua persen ini disimpan di reservoir buatan. Sembilan puluh delapan  persen dari air di bawah permukaan disebut air tanah dan digambarkan sebagai air yang terdapat pada bahan yang jenuh di bawah muka air tanah. Dua persen sisanya adalah kelembaban tanah. Secara meteorologis, air merupakan unsur pokok paling penting dalam atmofer bumi. Air terdapat sampai pada ketinggian 12.000 hingga 14.000 meter, dalam jumlah yang kisarannya mulai dari nol di atas beberapa gunung serta gurun sampai empat persen di atas samudera dan laut.

Bila seluruh uap air berkondensasi (atau mengembun) menjadi cairan, maka seluruh permukaan bumi akan tertutup dengan curah hujan kira-kira sebanyak 2,5 cm. Air terdapat di atmosfer dalam tiga bentuk: dalam bentuk uap yang tak kasat mata, dalam bentuk butir cairan dan hablur es. Kedua bentuk yang terakhir merupakan curahan yang kelihatan, yakni hujan, hujan es, dan salju. Atmofer membungkus bumi dengan lapisan-lapisan yang jelas batas-batasnya. Lapisan yang pertama dan yang paling bawah adalah troposfer.

Tebal troposfer berkisar dari delapan kilometer di kutub sampai 16 km di khatulistiwa. Udara troposfer merupakah ketel pemasak cuaca bumi. Di dalam troposfer udara lembab yang dipanasi oleh tanah di bawahnya menggelembung ke atas di khatulistiwa, dan menciptakan aliran besar udara ke atas di daerah tropik. Jauh di sebelah utara, massa udara dingin dan kering turun ke bumi. Angin horisontal menderu melintasi padang salju dengan kecepatan tinggi. Suhu permukaan yang berkisar dari 38 derajat celcius di atas samudera dan gurun pasir sampai minus 73 derajat celcius di kutub menciptakan adukan dalam atmosfer dan menentukan cuaca beserta polanya di seluruh dunia. Di dalam troposfer suhu turun dengan bertambahnya ketinggian dari muka bumi atau dengan bertambahnya jarak dari sumber panas atmosfer, yakni bumi yang dipanasi matahari.

Rata-rata suhu turun sebanyak dua derajat setiap kenaikan 305 meter. Selain matahari, geometri bumi dan atmosfer, msih ada faktor terakhir yang mempengaruhi cuaca. Faktor ini adalah bentuk-bentuk geofisik permukaan bumi, seperti misalnya pegunungan, samudera, benua, lembah atau danau. Bagaimana cuaca di suatu daerah pada hari ini atau pada bulan yang akan datang itu sangat bergantung kepada bentuk permukaan daerah tersebut.

Daratan, misalnya lebih cepat mengumpulkan panas dan juga lebih cepat kehilangan panas dibandingkan dengan perairan. Karena air menahan panas lebih lama daripada tanah, orang yang berdiam dekat pantai atau dekat danau besar di pedalaman mengalami musim panas yang lebih sejuk dan musim dingin yang relatif lebih ringan bila dibandingkan dengan mereka yang bertempat tinggal juh dari danau atau lautan. Akibat lainnya ialah angin laut sejuk yang bertiup dari perairan pada siang hari, dan angin darat yang bertiup dari daratan pada malam hari. Hal itu merupakan ciri utama pola cuaca pesisir, khususnya di daerah tropik.

2.3 Kualitas Air

Kualitas air dapat dinyatakan dengan parameter kualitas air. Parameter ini meliputi parameter fisik, kimia, dan biologis. Parameter fisik menyatakan kondisi fisik air atau keberadaan bahan yang dapat diamati secara visual/kasat mata. Yang termasuk dalam parameter fisik ini adalah kekeruhan, kandungan partikel/padatan, warna, rasa, bau, suhu, dan sebagainya. Parameter kimia menyatakan kandungan unsur/senyawa kimia dalam air, seperti kandungan oksigen, bahan organik (dinyatakan dengan BOD, COD, TOC), mineral atau logam, derajat keasaman, nutrient/hara,  dan sebagainya. Sedangkan kualitas biologi berkaitan dengan kehadiran mikroba patogen, pencemar, dan penghasil toksin.

2.4 Pengembangan Sumber-sumber Air

MWRA (The Boston Metropolitan Water Resources Authority) – badan yang mengurusi masalah sumber daya air di Boston – didirikan pada tahun 1985 untuk memberikan layanan air dan pembuangan limbah skala besar di kota metropolitan Boston untuk 2,5 juta orang dan lebih dari 5.000 pemakai industrial dan komersial. Pada saat itu rata-rata penggunaan air adalah 330 juta gallon perhari (mgd), atau 10% di atas perkiraan produksi yang aman sejumlah 300 mgd.     (1 galon sama dengan 3.8 liter). Pada kenyataannya, daerah itu telah melampaui produksinya selama hampir 20 tahun. Daripada membangun sumber baru yang mahal, MWRA menjalankan program manajemen yang komprehensif. Hasil program tersebut sangat dramatis: rata-rata penggunaan sekarang sekitar 260 mgd, berarti jauh di dalam ambang aman produksi sumber-sumber yang ada, dan tingkat konsumsi menurun ke seperti pada awal tahun 1960-an. Program tersebut meliputi hal-hal berikut:

1.Deteksi dan perbaikan kebocoran. Ditemukan kebocoran sebesar sekitar di masyarakat lokal dan sekitar 5 mgd lainnya di sepanjang 400 kilometer pipa MWRA. 2.Meteran. Meteran penyediaan air direhabilitasi,dan banyak meteran eceran diperiksa secara teliti.

3.Perbaikan dan modifikasi barang-barang desain lama di pemukiman. Kepada 730.000 rumah tangga di daerah tersebut ditawarkan pemasangan peralatan yang hemat air dan survei deteksi kebocoran. Pada saat penyelesaian pekerjaan ini, sekitar 360.000 rumah tangga telah berpartisipasi, dengan penghematan yang diperkirakan mencapai sekitar 5 mgd. Dengan biaya sekitar 9,3 juta dollar, ini adalah “sumber” air yang sangat murah.

4.Industrial. Audit komersial dan institusional (yang menggabungkan energi dan air) ditawarkan dan hasilnya disebarluaskan. Dengan mengubah secara sederhana peralatan, perlengkapan dan pemeliharan, bisa diantisipasi penghematan sekitar 10% hingga 25%.

5.Memodifikasi bang tempat-tempat umum dipasang seribu toilet yang hemat air.

6.Informasi untuk masyarakat. Meskipun keberhasilan program ini tidak mengadalkan pada perubahan perilaku masyarakat, kampanye luas melalui berbagai media membuat orang sadar akan tujuan dan apa yang telah dicapai program ini. Konservasi biasanya dianggap hanya pantas dilaksanakan di daerah yang sangat kering atau rawan paceklik. Ternyata program ini dapat menjadi contoh bahwa konservasi juga bisa merupakan jalan keluar yang hemat terhadap masalah pasokan air di kota-kota di kawasan yang biasa dianggap “basah”. Hasil yang bisa dinikmati konsumen individu bisa sangat dramatis. Sebuah bangunan pemukiman menghabiskan $66.000 untuk program modifikasi peralatan hemat air, dan dengan program itu tempat ini bisa menghemat $120.000 per tahun. Lembaga lainnya menghabiskan $5.000 selama dua tahun dan menghemat $31.000 untuk dua tahun berikutnya.

Perpaduan antara jangkauan yang tidak memadai, layanan yang jelek dan pengolahan air limbah yang kurang layak mengakibatkan terjadinya kondisi hidup yang mengerikan. Di jalan-jalan dan tempat-tempat umum berceceran limbah manusia, saluran air mengangkut cairan limbah rumah tangga, dan pasokan air ledeng mengalir tidak teratur, sehingga limbah cair rumah tangga meresap ke dalam pipa pada saat tekanan airnya melemah. Dampaknya, terutama terhadap anak-anak, sangat mengerikan. Meskipun orang tampak sehat, mereka tidak akan seproduktif seperti selayaknya karena gangguan parasit pada usus. Keuntungan yang dapat diharapkan dari penyediaan air dan sanitasi yang lebih baik sangat tinggi, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tentunya biaya ekonomi untuk penyakit yang tidak dapat dihindari sangat tinggi, tetapi sukar untuk diperkirakan. Kerusakan sistem juga akan berdampak pada biaya lain-lain bagi para konsumen. Diperkirakan di Jakarta, Indonesia, 20 hingga 30 juta dolar dibelanjakan setiap tahun hanya untuk merebus air supaya aman untuk dikonsumsi. Andaikan jumlah uang ini digunakan untuk meningkatkan mutu penyediaan air, sangat diyakini akan membuahkan hasil yang sangat berarti untuk jangka waktu lama.

Tabel 3 memaparkan ancar-ancar perkiraan biaya untuk pengadaan layanan secara konvensional hanya kepada mereka yang tidak terlayani pada saat ini. Investasi untuk sektor air dan sanitasi selama tahun 80-an mungkin rata-rata mencapai 10 ribu juta dolar setiap tahun. Apabila investasi ini berlangsung dengan laju yang sama untuk tahun berikutnya, maka angka-angka pada tabel 3 akan menuntut kebutuhan untuk investasi kira-kira sebesar 67 ribu dolar setiap tahun untuk 5 tahun berikutnya hanya untuk mempertahankan cadangan layanan, tanpa menyembuhkan kerusakan-kerusakan di masa lalu.

Apabila dikelola dengan manajemen yang tepat air merupakan komoditas yang mengagumkan murahnya. Di Amerika Serikat, negara yang pada umumnya memberikan tingkat layanan yang tinggi, orang-pun masih tetap mengeluh tentang rekening air dan layanan pembuangan limbah air. Tetapi keluhan tersebut mungkin tidak mengaitkan masalah antara jasa yang mereka terima dengan uang yang mereka bayarkan, atau tanpa membandingkan harga layanan ini dengan komoditas lain. Di wilayah yang dilayani oleh Komisi Sanitasi Wilayah Kota (Wahington, D.C., dan daerah pinggirannya), suatu instansi yang terkenal paling mahal harga layanannya, biaya untuk pasokan air bagi rumah tangga sedang adalah $ 2,51 untuk 3.800 liter sepadan dengan hanya $ 0,60 dolar per ton. Sedangkan pembuangan dan pengolahan limbah cair hanya $ 0,90 per ton.

Hanya ada satu kesimpulan yang dapat ditarik dari pengalaman di seluruh dunia dalam sektor ini: Melanjutkan “urusan berjalan seperti biasa” sudah tidak lagi dapat diterima. Beruntunglah bahwa penekanan yang mantap pada pentingnya penyediaan air dan sanitasi selama dasawarsa terakhir ini telah berhikmah bagi kita dengan contoh-contoh yang sangat berharga tentang pendekatan-pendekatan yang telah membuahkan hasil; sekarang pendekatan-pendekatan ini perlu penerapan yang lebih luas.

2.5 Konservasi Air

Meskipun menyediakan air adalah industri yang menghasilkan dan menjual produk, pada umumnya industri ini kehilangan 1/3 dari produksinya sebelum sampai pada konsumen. Di beberapa kota, lebih dari separo air hilang. Kehilangan yang tinggi ini membuat sulit atau tidak mungkin menciptakan kondisi penyediaan air yang memuaskan karena menyediakan lebih banyak air atau menambah tekanan pada sistem yang bobrok hanya menyebabkan luapan dan kebocoran yang lebih besar.

Program konservasi biasanya harus terdiri atas kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk saling melengkapi. Di beberapa negara berkembang, dengan sistem lama yang kondisinya menyedihkan, prioritas pertama harus ditujukan pada pengurangan air yang terbuang.

Hal ini biasanya merupakan prasyarat untuk menciptakan kondisi penyediaan air yang lebih baik, dan sampai kondisi ini mulai membaik konsumen sering enggan untuk turut serta dalam bagian-bagian lain program ini. Kampanye pengurangan UFW biasanya tidak mahal dibandingkan dengan biaya untuk menyelamatkan air. Kampanye ini memiliki periode pembayaran kembali yang pendek bahkan pada tingkat tarif sekarang ini, dan akan lebih menarik lagi jika dibandingkan dengan biaya mencari sumber air baru.

Di negara-negara berkembang yang layanan penyediaan airnya mungkin secara bergilir manfaat penting dari pengurangan UFW ini adalah bahwa hal ini memungkinkan pemulihan layanan 24 jam. Hal ini juga memiliki dampak kesehatan langsung dan menghindarkan polusi air minum yang disebabkan oleh kebocoran saluran limbah yang masuk ke pipa-pipa pada saat pipa-pipa tersebut tidak penuh. Air juga bisa dihemat sebab masyarakat tidak merasa harus mengisi setiap wadah di rumah mereka pada jam-jam penyediaan untuk berjaga-jaga kalau saat aliran air berikutnya mungkin tertunda atau hilang. Meteran juga bisa digunakan dan lebih awet. Dalam kondisi bergilir meteran bisa menjadi sangat tidak akurat karena adanya udara mampat yang melewati pipa pada saat pipa terisi lagi. Selain itu pipa pun bisa rusak karena kekeringan.

Pengawasan sistem dan deteksi kebocoran yang ajeg juga jauh lebih sederhana begitu sistem itu diisi air dan sistem ini tidak membutuhkan peralatan yang canggih. Langkah kedua ialah mengharuskan digunakannya peralatan yang menggunakan air dengan desain yang lebih efisien. Desain yang lama menggunakan lebih banyak air. Toilet, pancuran, dan kran hemat air buatan lokal harus merupakan satu-satunya yang tersedia di pasaran, dan insentif sebaiknya diberikan kepada mereka yang memodifikasi barang-barang desain lama supaya bisa digunakan lagi. Sebelum ini, Amerika Serikat tertinggal dalam hal konservasi dibandingkan Eropa. Tapi sekarang Amerika sedang meluncurkan program-program semacam itu dalam jumlah besar dengan hasil yang mengagumkan. Sebagai contoh, di tahun 1988, San Simeon, California, memulai program modifikasi barang-barang desain lama untuk membuat toilet volume rendah (low-volume flush toilet/LVFT) dan ujung pancuran hemat air.

Dimulai dari tempat-tempat yang banyak menggunakan air, misalnya sekolah, hotel, rumah sakit, dan pom bensin, ternyata volume air mubazir yang bisa dihemat mencapai 25%. Perluasan program ini ke daerah pemukiman dan pembatasan penggunaan air untuk menyiram tanaman di musim panas mengurangi penggunaan air secara keseluruhan dan air yang terbuang hingga 50%. Akibat lain ialah pulihnya jaringan sumber air tanah yang sebelumnya terkuras habis. Yang paling hebat adalah berkurangnya ongkos pemanasan air dengan sendirinya cukup untuk membiayai semua program. Demikian juga, sebuah studi pilot yang meneliti contoh-contoh rumah tangga, tempat usaha dan tempat umum di kota Meksiko menemukan bahwa melengkapi tempat-tempat tersebut dengan toilet dan ujung pancuran yang hemat air bisa mengurangi pemakaian air hingga separo. Selain itu, sistem penyaluran air juga diperbaiki dan program modifikasi barang-barang desain lama juga dilancarkan.

Di beberapa negara berkembang, kondisi penyediaan air sangat tidak menentu sehingga pembicaraan tentang peralatan hemat air menjadi tampak lucu. Namun, bahkan dalam kondisi demikian air yang terbuang masih bisa banyak. Rumah-rumah orang kaya menggunakan peralatan boros air, dan orang-orang miskin mencuci di bawah kran yang mengalir terus.

Dalam kondisi demikian peralatan hemat air akan bermanfaat karena yang kaya akan menggunakan lebih sedikit air sementara standar yang mereka inginkan tetap terjaga; yang miskin akan bisa berbuat lebih banyak dengan persediaan yang terbatas. Unsur ketiga program konservasi air ialah tarif yang dirancang dengan tepat. Pada prinsipnya ongkos air harus naik sesuai dengan meningkatnya jumlah pemakaian air, sehingga untuk keperluan pokok air tersedia dengan harga yang terjangkau, tetapi jumlah yang lebih besar (yang digunakan untuk kemewahan, seperti menyiram kebun, mencuci mobil, dan mengisi kolam renang) secara progresif harganya naik.

Seringkali pungutan air tidak didasarkan pada pemakaian yang sebenarnya, atau kalau didasarkan pada meteran biasanya dengan memakai tingkatan tetap atau mendatar (flat unit rate) atau bahkan menurun yang tidak merangsang konservasi. Namun selain hal itu, ada masalah-masalah serius lainnya yang juga harus dipecahkan, seperti bagaimana menyediakan layanan yang terjangkau untuk orang tak mampu (di mana banyak orang menggunakan satu saluran air bersama-sama sehingga timbul kesan yang keliru bahwa air dipakai secara berlebihan), atau bagaimana menjalankan program meteran yang akurat. Tetapi, masalah-masalah tersebut bisa diatasi.

Pendidikan dan peran serta konsumen adalah unsur keempat program konservasi yang sangat penting. Penggunaan air adalah jumlah keseluruhan dari berbagai kegiatan harian. Jadi mengubah sikap perilaku sangatlah penting terutama di tempat yang kondisi penyediaan airnya buruk atau peningkatan tarif airnya sedang diusulkan.

2.6 Masalah Kebutuhan Air

Pertanian beririgasi merupakan pengguna air terbesar. Pada umumnya lebih 80% dari air yang ada dicurahkan khusus untuk pertanian. Tetapi karena biasanya air disalurkan dengan gratis atau dengan tarif yang banyak disubsidi, maka kecil sekali dorongan niat untuk menggunakan air secara efisien, dan retribusinya, jika ada, tidak akan mencukupi untuk pemeliharaan yang layak. Maka hasilnya ialah penggunaan yang sangat tidak efisien efisiensinya kira-kira hanya di bawah 40% untuk seluruh dunia dan kemerosotan mutu yang semakin melaju pada sistem yang semakin besar.

Sesungguhnya efisiensi dapat ditingkatkan dengan baik dengan perbaikan cara pengoperasian dan pemeliharaan sistemnya perbaikan saluran, pendataran lahan supaya pembagian air dapat merata, penyesuaian antara banyaknya pelepasan air dari tandon dan keperluan senyatanya di daerah hilir, dan pengelolaan yang lebih efektif apabila air tersebut sudah sampai di lahan pertanian atau dengan menggunakan teknik yang lebih efisien seperti irigasi tetesan.

Perbaikan-perbaikan semacam itu sangat penting mengingat besarnya dampak permintaan irigasi dan rasa keadilan bagi penduduk perkotaan yang berjuang untuk kelangsungan pasok air yang memadai. Sandra Postel, seorang pakar dalam penggunaan air dari Worldwatch Institute mengatakan: “Hanya dengan meningkatkan 10% efisiensi penggunaan air di seluruh dunia, kita akan dapat menghemat air yang cukup untuk memasok semua air keperluan hunian di seluruh kawasan dunia”.

Penghamburan air sungguh disayangkan sebab biasanya hal tersebut tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas pertanian seperti yang diharapkan. Tiadanya penyaluran air yang baik pada lahan yang diairi dengan irigasi (untuk penghematan dalam jangka pendek) dapat berakibat terjadinya kubangan dan penggaraman yang akhirnya dapat menyebabkan hilangnya produktivitas.

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB memperkirakan bahwa, karena terjadinya penggaraman atau jeleknya drainase, seluas 45 juta hektar lahan pertanian beririgasi di negara-negara berkembang memerlukan reklamasi hampir separo dari 92 juta hektar tanah beririgasi di kawasan dunia berkembang.

Tabel 1: Lingkup Pasokan Air dan Layanan Sanitasi di Negara-negara Berkembang
PENDUDUK
( JUTA)
1980 1990
Jumlah Tanpa pasok air Tanpa sanitasi Jumlah Tanpa pasok air Tanpa sanitasi
Kota 933 213 (23%) 292 (31%) 1.332 243 (18%) 377 (28%)
Desa 2.303 1.613 (70%) 1.442 (63%) 2.659 989 (37%) 1.364 (51%)
Sumber: Hasil-hasil Dasawarsa Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Internasional (1981-1990). Laporan No. A/45/327 UNESCO, Juli 1990, dengan beberapa ralat kecil menurut Kinley, David berjudul “Running Just to Stay in Place”, dalam Choice, Volume 2, No. 4, Desember 1993.

– Di sejumlah negara, terjadinya tanah kubangan dan penggaraman tanah telah menghilangkan produktivitas tanah pertanian beririgasi seluas lahan yang dibuka oleh proyek-proyek.
Di Mesir, suatu negara dengan ekonomi langka tanah, hampir separo dari tanah yang dibudidayakan terutama di bagian barat delta Sungai Nil mempunyai tinggkat penggaraman yang demikian tinggi sehingga berdampak pada produksi tani, menurunkan hasil, dan mengarah pada penelantaran lahan irigasi, baik sementara maupun selamanya.                                                             Suatu perkiraan di Meksiko, hilangnya panen yang disebabkan oleh penggaraman tanah mencapai 1 juta ton panen bahan makan, suatu jumlah yang cukup untuk mencatu kebutuhan pokok makanan untuk 5 juta orang.

Industri sesungguhnya menggunakan air jauh labih sedikit apabila dibandingkan dengan irigasi, namun dampaknya mungkin parah, dipandang dari dua segi. Pertama, penggunaan air bagi industri sering tidak diatur dalam kebijakan sumber daya air nasional, maka cenderung berlebihan. Kedua, pembuangan limbah industri yang tidak diolah dapat menyebabkan air permukaan atau air bawah tanah menjadi terlalu berbahaya untuk dikonsumsi.

Penggunaan air bagi industri seringkali juga sangat tidak efisien. Karena tidak dapat memasok kebutuhan industri melalui sistem yang dikelola oleh pemerintah daerah, dan karena dorongan yang menggebu untuk pertumbuhan ekonomi, perusahaan industri mengembangkan sendiri jaringan airnya secara swasta. Biaya air semacam ini seringkali sangat rendah, dan karena biaya tersebut hanya merupakan bagian kecil dari seluruh biaya manufaktur, maka mereka tidak merasa terdorong untuk mengadakan konservasi.

Sebagai contoh di Bangkok, Thailand, yang sangat menderita akibat penghisapan air bawah tanah yang berlebihan, biaya yang harus dikeluarkan air dari perusahaan air metropolitan berlipat delapan kali dari biaya yang diperlukan untuk memompa air tanah secara swasta.

Banyaknya air yang diperlukan untuk manufaktur dapat sangat berbeda-beda, tergantung pada proses industri yang diterapkan dan ukuran daur ulangnya. Memproduksi satu ton baja dapat saja menghabiskan sampai 190.000 liter air atau hanya 4.750 liter, dan satu ton kertas dapat menghabiskan sampai 340.000 liter atau hanya 57.000 liter.

Pengaturan yang tepat untuk penyedotan air dan pengenaan biaya yang benar untuk air tersebut akan dapat mendorong orang untuk menggunakannya secara lebih efisien tanpa harus mempengaruhi biaya produksi secara mencolok.

Biaya penggunaan air, bahkan di negara-negara yang tarifnya pun sudah sesuai dengan biaya menyeluruh pemeliharaan sumber, biasanya hanya merupakan bagian yang sangat kecil (1% sampai 3%) dari biaya produksi industri.

Tabel 2: Kemungkinan Pembatasan Penyakit Melalui Pasokan Air dan Sanitasi
Jenis penyakit Perkiraan banyaknya kasustiap tahun di negara-negara berkembang (kecuali cina) Kemungkinan penyusutan lewat peningkatan pasokan air dan sanitasi
Diare (murus) 875 juta 225 juta (26%)
Cacing gelang (askaris) 900 juta 260 juta (26%)
Cacing guinea 4 juta 3 juta (78%)
Cacing tambang 800 juta 615 juta (77%)
Trakoma 500 juta 135 juta (27%)
Karena keterbatasan data, semua angka di atas mengacu kepada kasus sakit, bukan kematian. Lagi pula hendaknya dicatat bahwa tindakan yang diambil dapat mengurangi kasus kematian tetapi bukan kasus sakit.

Sumber: Berdasar tulisan Esrey, Steven A., dkk, “Manfaat Kesehatan dari Perbaikan dalam Pasokan Air dan Sanitasi. Laporan Teknik No. 66 Pasokan Air dan Sanitasi Arlington, Virginia: Proyek Air dan Sanitasi untuk Kesehatan, Juli 1990.

Bahkan di industri-industri yang “padat air” jumlah air yang dipakai sangat kecil biasanya 20% pada industri pengolahan pangan, 25% pada industri kertas, dan 33% pada tekstil. Sisanya didaur-ulang (kecenderungan ini semakin meningkat di negara-negara industri) atau dikeluarkan sebagai limbah cair. Penentuan tarif yang lebih realistik, meskipun penting untuk sektor ini, tetap saja tidak merupakan dorongan untuk penggunaan yang lebih efisien.

Yang lebih penting adalah pengetatan alokasi air dan persyaratan pengendalian pencemaran yang lebih keras. Contohnya seperti Israel yang memiliki peraturan standar penggunaan air untuk berbagai macam industri, dan memberi alokasi pembagian air yang disesuaikan. Sebagai hasilnya, di negara itu rata-rata penggunaan air per unit produksi industri anjlok hingga 70% selama dua dekade ini.

Air buangan industri sering dibuang tanpa melalui proses pengolahan apapun. Air tersebut dibuang langsung ke sungai dan saluran-saluran, mencemarinya, dan pada akhirnya juga mencemari lingkungan laut, atau kadang-kadang buangan tersebut dibiarkan saja meresap ke dalam sumber air tanah. Kerusakan yang diakibatkan oleh buangan ini sudah melewati proporsi volumenya.

Banyak bahan kimia modern begitu kuat sehingga sedikit kontaminasi saja sudah cukup membuat air dalam volume yang sangat besar tidak dapat digunakan untuk minum tanpa proses pengolahan khusus.

Cara menolongnya adalah pencegahan bukan penyembuhan. Seperti laporan dari Bank Dunia dan Bank Investasi Eropa berjudul Pencemaran Industri di Kawasan Laut Tengah: “Perbaikan pada efisiensi dalam pengoperasian dan pemulihan sumber air jauh lebih baik dan kemungkinan besar akan memberikan hasil yang lebih banyak daripada pengolahan pada akhir proses yang mahal.

Dikarenakan masalah pencemaran berkaitan langsung dengan masalah-masalah pengoperasian dan pemeliharaan, serta rendahnya niat untuk konservasi dan pemulihan sumber air”. Penilaian terhadap masalah lingkungan di kawasan Laut Tengah yang dilaksanakan oleh kedua organisasi tersebut menemukan bahwa pengolahan primer terhadap limbah industri hanya akan menghabiskan biaya sebesar 10% hingga 20% dari biaya pengolahan secara lengkap, namun dapat membuang 50 hingga 90 persen bahan-bahan polutan yang paling berbahaya.

Penyusutan buangan limbah industri yang efektif, termasuk pengolahan primer, mungkin akan lebih berdampak lebih baik terhadap lingkungan daripada mengutamakan cara pengolahan lengkap terhadap limbah perkotaan yang volumenya jauh lebih kecil.

Tabel 3: Perkiraan Modal untuk Penyediaan Pemasok Air Baru dan
Layanan Pembuangan Limbah Air *)
Th. 1900, jumlah penduduk yang terlayani (juta) Th. 2000, jumlah penduduk (juta) Tambahan jumlah penduduk yang akan dilayani (juta) Perkiraan biaya per unit dalam dolar tiap orang Jumlah keseluruhan biaya dalm juta dolar
Pasokan air perkotaan 1.089 1.900 811 1300 105.000
Pembuangan
limbah air
955 1.900 945 350 331.000
Jumlah 436.000
*) Angka-angka yang disajikan di sini lebih kecil dari jumlah sesungguhnya yang diperlukan untuk membangun dan mempertahankan biaya universal. Karena pada masa lampau penekanan dipusatkan pada membangun yang baru, banyak sistem yang sekarang tidak beroperasi lagi atau rusak berat dan memerlukan rehabilitasi, yang tentunya menambah beban berat terhadap kebutuhan finansial. Perkiraan di atas juga tidak memasukkan investasi besar yang diperlukan untuk keperluan perlindungan.

Sumber: Data penduduk dari hasil-hasil selama Dasawara Pasokan Air Minum dan Sanitasi 1981-1990. Laporan No. A/45/327, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, Juli 1990. Biaya satuan per kapita diperoleh dari evaluasi dan laporan proyek Bank Dunia. Perkiraan ini mengandaikan adanya sistem saluran air minum dan pembuangan terpusat yang penuh dalam rumah tangga. Angka-angka ini baru merupakan petunjuk dan hendaknya tidak dipakai untuk memperkirakan biaya untuk suatu wilayah tertentu.

Untuk memusatkan kepedulian pada jeleknya tingkat layanan di sektor air, PBB menjuluki tahun 1980-an sebagai “Dasawarsa Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Internasional”. Ada beberapa peningkatan yang cukup nyata terutama dalam layanan penyediaan air kepada orang-orang miskin, tetapi pencapaian tersebut apabila dipandang dari segi lingkungan, idak sedramatik seperti yang diharapkan.

Seperti ditunjukkan dalam Tabel 1, sampai akhir dasawarsa tersebut, meskipun ada banyak peningkatan jumlah orang yang dilayani, namun ternyata jumlah orang di perkotaan yang tidak terlayani juga meningkat. Kiranya pantas dicatat bahwa statistik yang dipaparkan pada Tabel 1 tersebut hampir dapat dipastikan terlalu optimistik. Misalnya, statistik tersebut tidak mengungkapkan mutu layanan yang mungkin saja rendah dan dapat mengancam lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Sangat sering statistik itu mengasumsikan bahwa sekali dibentuk, sebuah sistem akan terus bekerja dengan baik, padahal keadaan sesungguhnya tidak selalu demikian. Masalahnya bukan hanya karena tidak cukup persediaan air; air yang ada itu pun tidak dikelola secara layak atau dibagikan secara merata.

Bagian air yang hilang karena kebocoran terlalu besar. Dengan menengok kembali pengalaman selama bertahun-tahun, Bank Dunia menemukan bahwa “air yang tidak tertagih” rata-rata mencapai 35% dari keseluruhan pasokan (air yang tak tertagih = UFW/ unaccounted-for water, yaitu air yang diproduksi tetapi tidak menghasilkan uang karena kebocoran atau “kerugian administratif”). Menaikkan penjualan air dari 65% ke, katakan 85%, akan berarti penghematan 30% terhadap keadaan sekarang.

Sering sebagian besar air yang tersedia hanya digunakan oleh sejumlah kecil konsumen besar. Dalam suatu kota, 15% sambungan bermeter dapat menghasilkan 85% pemasukan uang dari konsumsi air. Enam persen peringkat atas dari seluruh rumah tangga mengkonsumsi lebih dari 30% seluruh konsumsi domestik, 0,1% dari atas menggunakan lebih dari 6%. Bahkan hanya 3 rangkaian industri saja membayar separo dari jumlah keseluruhan konsumsi industri. Para pengguna tersebut membayar terlalu rendah untuk layanan. Biaya rata-rata untuk produksi air oleh proyek pemasok yang dibiayai oleh Bank Dunia dalam masa 1966-81 adalah $ 1,29 untuk setiap 1.000 galon (+ 3.800 l). Harga rata-rata untuk setiap 1.000 galon kira-kira $ 0,69. Karena tingkat rata-rata air yang tidak menghasilkan uang mencapai hingga 35% maka harga efektif setiap 1.000 galon menjadi hanya $ 0,45, atau kira-kira hanya 1/3 biaya memproduksinya.

Kelompok orang lain terpaksa menggunakan alternatif yang mahal. Dale Whittington dan rekan-rekannya mencatat dalam tulisan yang berjudul Penyajian Air dan Pembangunan: Pelajaran dari Dua Negara, “Rumah tangga yang membeli air dari para penjaja membayar dua kali hingga enam kali dari rata-rata yang dibayar bulanan oleh mereka yang mempunyai sambungan saluran pribadi untuk volume air yang hanya sepersepuluhnya.”

Karena masalah-masalah tersebut maka para pengusaha air di beberapa negara berkembang hidupnya sangat pas-pasan. Tarif yang dikendalikan secara politis biasanya terlalu rendah untuk menutup biaya produksi; namun demikian banyak tagihan rekening air tetap tidak terbayar, sehingga usaha perawatan untuk pencegahan tidak terpedulikan. Oleh karena itu banyak kota yang berputar semacam lingkaran: Perbaikan yang paling utama ditunda hingga sistem jaringannya mencapai ambang kerusakan, tepat pada waktu itu dimulailah babak baru suatu proyek penanaman modal yang besar. Pada gilirannya, karena desakan dari tuntutan layanan, hal tersebut akan menyebabkan pemerintah kota terjebak dalam masa depan yang tak menentu.

Dalam hal demikian, biasanya mereka lebih mudah memperoleh dana untuk membangun sistem penyediaan baru, yang secara politis sangat gampang dilihat, daripada mencari dana untuk memperbaiki barang-barang yang mendekati kebobrokan. Pemusatan perhatian pada perluasan pasokan dan tidak adanya kebijakan nasional yang mengharuskan pengalokasian air lebih efisien, mengarah pada keparahan penyedotan yang berlebihan terhadap jaringan lapisan sumber air bawah tanah di banyak negara, diiringi dengan akibat yang serius yang sebenarnya sudah dapat diperkirakan sebelumnya yaitu kelangkaan air, permukaan air yang jatuh di bawah saluran pompa penyedot, dan air garam yang terserap ke dalam jaringan lapisan sumber air dan menyebabkan air tak dapat dimanfaatkan untuk minum atau irigasi.

Di beberapa tempat di negara bagian Tamil Nadu di India bagian selatan yang tidak memiliki hukum yang mengatur pemasangan penyedotan sumur pipa atau yang membatasi penyedotan air tanah, permukaan air tanah anjlok 24 hingga 30 meter selama tahun 1970-an sebagai akibat dari tak terkendalikannya pemompaan atau pengairan.

Pada suatu konperensi yang diselenggarakan baru-baru ini, seorang wakil dari suatu negara yang kering melaporkan bahwa 240.000 sumur pribadi yang dibor tanpa mengindahkan kapasitas jaringan sumber air mengakibatkan kekeringan dan peningkatan kadar garam. Penyia-nyiaan sumber air semacam ini tidak terbatas hanya pada negara-negara berkembang saja; eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber-sumber juga merupakan masalah yang serius di banyak derah di Amerika Serikat. Seperlima dari seluruh tanah irigasi di AS tergantung hanya pada jaringan sumber air (Aquifer) Agallala yang hampir tak pernah menerima pasok secara alami.

Selama 4 dasawarsa terakhir, sistem jaringan yang tergantung pada sumber ini meluas dari 2 juta hektar menjadi 8 juta, dan kira-kira 500 kilometer kubik air telah tersedot. Jaringan sumber ini sekarang sudah setengah kering kerontang di bawah sejumlah negara bagian.

Sumber-sumber air juga mengalami kemerosotan mutu. Di samping pencemaran dari limbah industri dan limbah perkotaan yang tidak diolah, sumber-sumber tersebut juga mengalami pengotoran berat dari sisa-sisa dari lahan pertanian. Misalnya, di bagian barat AS, sungai Colorado bagian bawah sekarang ini demikian tinggi kadar garamnya sebagai akibat dari dampak arus balik irigasi sehingga di Meksiko sudah tidak bermanfaat lagi, dan sekarang AS terpaksa membangun suatu proyek besar untuk memurnikan air garam di Yuma, Arizona, guna meningkatkan mutu sungainya.

Situasi di wilayah perkotaan jauh lebih jelek daripada di daerah sumber. Banyak rumah tangga yang terlayani terpaksa merawat WC dengan cara seadanya karena langkanya air, dan tanki septik membludak karena layanan pengurasan tidak dapat diandalkan, atau hanya dengan menggunakan cara-cara lain yang sama-sama tidak tuntas dan tidak sehat. Bahkan andaikan hal ini tidak mengakibatkan masalah dari para penggunanya sendiri, tetap juga sering berbahaya terhadap orang lain dan merupakan ancaman bagi lingkungan, sebab limbah mereka lepas tanpa proses pengolahan.

Itulah masalah-masalah para penerima layanan. Namun, kira-kira 30% penduduk perkotaan harus menerima keadaan bahwa mereka tidak memiliki perangkat sanitasi yang memadai. Hal ini berarti bahwa dalam suatu kota berpenduduk 10 juta orang, setiap hari ada kira-kira 750 ton limbah manusia yang tak tertampung dan menumpuk di sembarang tempat -mungkin 250.000 ton zat-zat penyebab penyakit tersebar di jalan-jalan dan di tempat-tempat umum, atau di saluran-saluran air.

Perbaikan efisiensi irigasi. Dari sudut pandang penggunaan sumber daya air global, sangat penting untuk memperkenalkan cara-cara irigasi yang lebih efisien (misalnya, irigasi menetes yang banyak digunakan di Israel). Memperbaiki efisiensi irigasi bisa membebaskan air untuk bisa digunakan di daerah-daerah kota sekitar, seperti yang telah dilakukan di tempat-tempat tertentu di Amerika.

Di Imperial Valley di California, sedang dicobakan sebuah pendekatan inovatif untuk menemukan sumber daya air baru untuk memenuhi kebutuhan kota.

MWD (The Metropolitan Water District of Southern California) sedang membiayai tindakan-tindakan yang memperbaiki efisiensi sistem irigasi dengan menyediakan pengatur aliran air (reservoir) yang baru, memperbaiki kanal dan memasang lebih banyak monitor arus air. Sebagai imbalan, MWD bisa menggunakan 106.000 acre feet air (seluas 42.500 ha dengan kedalaman 1 kaki) yang bisa dihemat setiap tahun. (1 acre foot air sama dengan volume air seluas 0,4 hektar dan sedalam 0,3 meter). Demikian juga kota Casper di Wyoming, membayar petani untuk mengisi (dengan air) parit-parit irigasi mereka dan memasang peralatan irigasi yang bisa menghemat air. Sebagai gantinya, kota menerima air yang dihemat tersebut.

Aspek penting lainnya dari perbaikan efisiensi irigasi adalah pengakuan atas peranan kunci dari para “penerima keuntungan” dalam menciptakan struktur lembaga yang tepat. Sebelumnya, perbaikan irigasi hanya dianggap sebagai masalah teknik belaka; jika instalasi sudah terpasang dengan benar (sesuai dengan rancangan teknis departemen tingkat provinsi atau nasional), maka selanjutnya tinggal mengajari petani cara mengunakan persediaan air tambahan. Pendekatan semacam ini sudah tak bisa dipercayai lagi karena kegagalannya. Sekarang disadari bahwa dalam banyak kasus petani telah mengembangkan sendiri mekanisme untuk mengatur kanal pembagi, mengelola pembagian air, dan menyelesaikan perselisihan. Membangun berdasarkan pengaturan yang sudah ada jauh lebih mungkin untuk berhasil daripada mencoba memaksakan sistem baru dari luar.

Pendekatan tersebut telah diterapkan di Filipina sejak pertengahan 1970an, dan model tersebut telah diadaptasi untuk digunakan di negara-negara Asia lainnya, termasuk Srilanka, India, Indonesia, Thailand, Nepal dan Bangladesh. Ini model yang harus diterapkan lebih luas di bidang sanitasi dan penyediaan air kota karena sekarang sudah semakin disadari bahwa keberhasilan masyarakat sekitar kota tergantung pada pembicaraan yang tepat dengan masyarakat itu sendiri.

Teknologi Pengolahan Air. Banyak negara berkembang tidak memiliki sumber keuangan dan personil untuk memasang dan mengoperasikan sistem pengolahan air yang rumit. Bahkan, negara-negara maju pun membutuhkan teknologi yang sederhana dan tahan lama untuk daerah-daerah yang belum begitu maju. Sekarang ada kecenderungan ke arah penggunaan teknologi yang jauh lebih sederhana dan bukannya penggunaan sistem penyaringan rumit yang menggunakan berbagai bahan filter dan kontrol otomatis. Sebagai contoh adalah filter “laju menurun” (declining rate). Dalam filter itu air yang masuk dibagi merata di antara filter-filter dan tiap filter dicuci pada saat air di dalamnya mulai menggenang yang menandakan adanya sumbatan karena pasir atau bahan-bahan filter lainnya. Cara sederhana lainnya ialah dengan menggunakan `pasir lambat’ (slow sand) yang awalnya diperkenalkan satu abad yang lalu di Eropa. Filter ini memiliki tingkat penyaringan yang rendah, tapi hampir tanpa bagian-bagian yang bergerak. Penjernihan biologisnya terjadi pada lapisan material yang terperangkap pada permukaan pasir. Dan ini dibersihkan kalau material itu mulai menyumbat filter.

Standar Pasokan Air. Tata cara di banyak negara berkembang diwarisi dari administrasi pemerintah kolonial sebelumnya. Walaupun secara teknis bagus, aturan ini cenderung terasa berlebihan karena awalnya dirancang untuk diterapkan pada kondisi yang berbeda. Peninjauan kritis tentang standar yang ada sekarang akan menunjukkan bahwa lebih banyak lagi orang yang bisa dilayani dengan anggaran yang secara keseluruhan sama.

Sekarang tersedia program-program komputer yang mempermudah perancang untuk mengkaji efek penetapan parameter yang lebih tepat terhadap masyarakat yang dilayani daripada mengadopsi kriteria yang diimpor. Program-program semacam itu sekarang diterapkan sebagai sesuatu yang rutin di sejumlah negara (India, Filipina, Indonesia, Cina, Burma, Srinlanka, Thailand, dan Pakistan). Program ini memungkinkan perencana untuk merancang jaringan distribusi hemat biaya yang bisa dijalankan hanya dengan biaya separuh biaya jaringan konvensional.

Sebuah studi kasus di Filipina, mungkin merupakan sesuatu yang khas dari 40 sistem yang diperbaiki oleh Administrasi Perusahaan Air Minum Lokal dengan dukungan Bank Dunia. Dilaporkan bahwa modifikasi barang-barang rancangan lama menghasilkan turunnya biaya per kapita dari $45 ke $25. Ini adalah penghematan sekitar 45%. Penghematan ini berasal dari penggunaan pipa berpenampang lebih kecil untuk aliran yang kecil, penurunan ketentuan tekanan minimum untuk gedung satu tingkat, dan dirancangnya kemungkin pelayanan campuran daripada mengasumsikan bahwa setiap orang akan mampu membiayai saluran mereka sendiri.

Peranan Masyarakat. Tegucigalpa, Honduras, adalah contoh khas dari banyak kasus keterlibatan komunitas yang lebih besar, yang sudah waktunya untuk diakui selama dekade ini sebagai unsur penting untuk ketahanan jangka panjang. Di daerah kota, pendekatan-pendekatan serupa dalam rencana perbaikan kota telah menghasilkan keterlibatan LSM dan kelompok-kelompok masyarakat. Penerapan pendekatan tersebut pada sanitasi dan penyediaan air telah membuahkan beragam rancangan berskala besar atau eceran untuk penyediaan air bagi masyarakat pemukim liar dan konsep menyeluruh tentang keterlibatan kelompok masyarakat dalam perencanaan dan konstruksi serta pengoperasian sistem air dan buangan.

Secara khusus, “tuntutan efektif” (effective demand) sebaiknya digunakan untuk menentukan tingkat layanan. Ini berarti bahwa masyarakat ditawari berbagai tingkat layanan dan bisa mendapatkan air sebanyak kemampuan membayarnya. Idealnya, hal ini bisa memungkinkan semua biaya layanan terbayar oleh mereka yang mendapat layanan , kecuali kalau ada keadaan sosial yang menuntut diberikannya subsidi.

Dan tentu saja, masyarakat bisa memilih pemecahan yang oleh perencana semula diperkirakan tidak akan populer. Di Filipina, penyediaan air yang bisa dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah sebenarnya dirancang akan diberikan melalui kran umum, meskipun sebenarnya air yang terbuang akan lebih sedikit seandainya orang-orang tersebut memiliki saluran sendiri. Namun, ternyata mereka justru lebih suka membayar semua biaya sambungan untuk saluran pribadi dan tidak bersedia untuk kran umum. Serupa dengan hal tersebut, di Cochabamba, Bolivia, para insinyur menemukan bahwa orang bersedia membayar lebih mahal untuk sambungan di halaman mereka daripada membayar untuk kran umum. Namun, dengan pelayanan yang sudah diperbaiki ini pun, mereka masih membayar 86% lebih rendah daripada seandainya mereka membayar ke pedagang keliling.

Contoh lain adalah masyarakat di Kumasi, Ghana. Kepada masyarakat ini diajukan pertanyaan: “Jika WC (yang dihubungkan ke sistem saluran pembuangan kotoran) dan lubang kakus yang diperbaiki dan diberi ventilasi (Kumasi Ventilated Improved Pit latrine/KVIP) membutuhkan biaya yang sama tiap bulan, maka manakah yang akan Anda pilih? Para perencana memperkirakan bahwa jika biayanya sama, mereka akan memilih WC. Tapi, ternyata hanya 54% yang memilih WC, sedangkan 45% memilih KVIP karena KVIP tidak menggunakan air sehingga akan tetap berfungsi seandainya sistem air rusak. Selain itu KVIP juga lebih sederhana namun lebih sulit untuk disalahgunakan. Penelitian seperti ini memiliki pengaruh penting terhadap perancangan proyek sanitasi.

Rancangan Tarif yang Lebih Baik dan Mekanisme Pemulihan Biaya

Perusahaan-perusahaan air sering menggunakan biaya rata-rata atau biaya ‘historis’ sebagai dasar penentuan tarif air. Akibatnya, tarif yang mereka tentukan terlalu rendah karena dua hal. Yang pertama jelas: karena inflasi biaya sebenarnya telah meningkat sejak sistem dibangun. Sebab kedua yang agak rumit adalah: karena konsumsi air yang meningkat memaksa perusahaan untuk memperluas kapasitas produksi airnya, maka perusahaan harus mengembangkan sumber-sumber baru, dan tiap-tiap sumber itu secara progresif makin mahal dibandingkan sumber-sumber daya yang telah ada. Memang terpaksa demikian, kalau pemecahan yang makan biaya paling sedikit dipilih pada saat sumber-sumber itu sedang direncanakan. Dengan demikian perusahaan itu dihadapkan pada biaya marjinal dalam jangka panjang yang terus meningkat yang perlu dimasukkan ke dalam tarif supaya hal ini bisa mengurangi konsumsi berlebihan dan supaya bisa menunda kebutuhan untuk mengembangkan penyediaan tambahan yang baru dan mahal.

Besarnya kenaikan tarif mungkin akan mengagetkan para perencana. Penelitian Bank Dunia menemukan bahwa dalam hitungan yang sebenarnya (dengan nilai dolar tetap) biaya air per kubik meter untuk proyek yang disetujui pada tahun 1975 – 1981 besarnya tiga kali lipat proyek disetujui pada tahun 1966 – 1971. Mengulangi proyek di daerah perkotaan yang sama menunjukkan kecenderungan meningkatnya biaya perkubik meter lebih dari 200% antara proyek yang pertama dan kedua.

Pada tahun-tahun belakangan ini sudah ada kemajuan dalam pengubahan tarif yang mencerminkan biaya penyediaan air yang sesungguhnya tetapi yang juga tetap mempunyai tujuan sosial. Tarif-tarif ini menggunakan pembiayaan marjinal untuk mencerminkan biaya sumber daya yang sebenarnya, yang akan meningkat begitu konsumsi meningkat supaya orang tidak terangsang untuk boros air. Sementara itu ada juga tarif tingkat ‘pertolongan’ yang membantu orang-orang miskin supaya dapat menjangkau konsumsi minimum yang pokok.

Tarif seperti itu pada akhirnya harus memungkinkan perusahaan air untuk secara finansial bisa mencukupi dirinya sendiri, beroperasi dan merawat sistem-sistem mereka tanpa tergantung pada subsidi dari luar.

Penggunaan ‘tuntutan efektif’ dan kesadaran bahwa sistem yang berakar pada masyarakat memiliki kemungkinan lebih bagus untuk diterima dan dengan demikian juga meningkatkan pemulihan biaya telah membawa perubahan pula pada cara penagihan.

Di sebuah daerah miskin di Honduras, di musim kering air didapat dari sungai atau dari pedagang keliling tradisional dengan biaya 50 sen untuk 10 l air. Dengan mendirikan koperasi air dan membeli air dalam jumlah besar dari pemerintah kota, harga air dari kios sekitar turun menjadi 10 sen untuk 10 l air. Dua kepala rumah tangga perempuan yang mengelola kios dibayar dari uang yang masuk. Setiap tiga bulan sekali pengelola kios diganti, dengan demikian kesempatan mendapat kerja dapat dinikmati oleh beberapa keluarga.

Di sistem lain di Afrika yang juga dikelola masyarakat, pemakai membeli tanda dari plastik, dan setiap tanda plastik itu bisa ditukar dengan 25 l unit air di toko-toko sekitar kios. Tarif itu sama dengan tiga kali lipat jumlah yang dibayar perkumpulan tersebut ke bagian penyediaan air di kota. Kelebihan tersebut kemudian dipakai untuk membiayai pengoperasian dan perawatan, membayar kembali pinjaman untuk membangun, dan menambah jumlah kios. Proyek ini telah menghasilkan 20 pekerjaan penuh waktu dan mengurangi biaya air sebesar faktor 3 hingga 7 dibandingkan dengan kalau membeli dari pedagang keliling tradisional.

2.7 Undang-undang Keairan

– Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran menyatakan bahwa untuk menjamin kualitas air yang dinginkan sesuai peruntukannya agar tetap dalam kondisi alamiahnya, maka perlu dilakukan upaya pengelolaan kualitas air.

Sumberdaya air sebagai bagian dari sumberdaya alam  (natural resources),  di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 – 2004 disebutkan diarahkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang.

– UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa pendayagunaan sumber daya air harus ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pengertian yang terkandung di dalam amanat tersebut adalah bahwa negara bertanggungjawab terhadap ketersediaan dan pendistribusian potensi sumberdaya air bagi seluruh masyarakat Indonesia, dan dengan demikian pemanfaatan potensi sumberdaya air harus direncanakan sedemikian rupa sehingga memenuhi prinsip-prinsip kemanfaatan, keadilan, kemandirian, kelestarian dan keberlanjutan.

BAB III

PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan

Kelangkaan air sudah merupakan kenyataan di banyak negara berkembang yang akan makin memburuk dengan meningkatnya jumlah penduduk. Urbanisasi yang cepat mengakibatkan masalah serius dalam hal penyediaan dan pemeliharaan layanan air dan sanitasi yang pokok di daerah-daerah perkotaan. Konservasi sumber-sumber daya, penggunaan yang efisien, dan penyediaan layanan yang berkesinambungan, terjangkau dan diterima bagi setiap orang harus lebih diperhatikan daripada pelayanan yang diperuntukkan bagi sedikit orang terpilih, dan penggunaan teknologi yang membutuhkan subsidi besar yang akan macet hanya dalam waktu singkat.

Teknologi manapun yang bisa memenuhi kriteria tersebut harus dianggap cocok. Dari sistem yang sederhana tapi jalan lebih banyak manfaat yang bisa diharapkan daripada dari yang mewah tapi macet. Hal ini bisa berarti memulai dengan membuat kran umum untuk penyediaan air dan kakus VIP untuk layanan sanitasi yang sudah merupakan perbaikan besar daripada sekedar menunggu hingga sistem yang ‘tepat’ bisa didirikan. Pada saat yang bersamaan masyarakat berharap bisa memperbaiki sistem mereka begitu situasi dan kondisi memungkinkan.

Dan kemungkinan ini harus menjadi pilihan. Banyak kelompok masyarakat di negara berkembang memiliki banyak sumber daya tertentu tapi miskin keahlian dan peralatan impor. Karena itu proyek yang diharapkan bisa tahan lama harus lebih menekankan pada pengembangan industri lokal untuk manufaktur dan konstruksi. Kekokohan harus lebih ditekankan daripada keterandalan; maksudnya, memungkinkan perbaikan cepat sesuatu yang rusak dengan memakai sumber-sumber daya lokal yang ada.

Perencana perlu berpikir “kecil dan lokal”. Membuat perencanaan yang besar dan terpusat memerlukan pengendalian atas urbanisasi yang akan datang. Di banyak negara berkembang kendali inilah yang tidak ada, dan mungkin adanya proyek-proyek besar yang terpusat itu secara ekonomis tidak lagi signifikan. Proyek-proyek harus `sirkular’, bukan `linear’. Idealnya, limbah harus diolah dan didaur ulang di tempat limbah itu berasal. Membuang limbah sehingga menjadi masalah bagi masyarakat lain tidak lagi bisa diterima.

Akhirnya, penyediaan air harus diintegrasikan dengan layanan lingkungan perkotaan yang lainnya. Terutama, dalam kaitan eratnya dengan sanitasi, dua hal ini harus dikembangkan secara paralel. Tetapi, sanitasi tidak akan dianggap sebagai prioritas penting tanpa adanya saluran pembuangan air (selokan-selokan) dan selokan tidak akan jalan tanpa adanya pengelolaan limbah padat yang lebih baik. Manfaat dan perlindungan optimal terhadap lingkungan hanya bisa diberikan oleh paket layanan terpadu yang dirancang dengan baik.

3.2 Rekomendasi

Rekomendasi dalam pengelolaan sumberdaya air dimasa sekarang adalah :

–       Penghematan secara intensif dalam penggunaan air

–       Pengintegrasian fasilitas air dengan layanan lingkungan guna menopang perkebangan pemukman serta fasilitas lainnya

–       Konservasi yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang direkomendasikan dapat membentuk suatu kesinambungan dengan berbagai keperluan serta peningkatan kualitas air yang ada

DAFTAR PUSTAKA

Direktur Penataan Ruang Wilayah Tengah, Ditjen Penataan Ruang,dan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2001. PEMANFAATAN SUMBER DAYA AIR MELALUI PENDEKATAN PENATAAN RUANG. Universitas Islam Bandung.

Fabby VCM Tumiwa. 2003. Reformasi Sumber Daya Air di Indonesia. KOMPAS. Jakarta

Inovasi online vol/4. Agustus 2005 .

Makalah Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah,   dalam Semiloka dan Pelatihan di     Universitas Islam Bandung (UNISBA), Bandung, 2 – 3 Mei 2001.

Richard Middleton. 2006. Air Bersih : Sumberdaya yang Rawan. Makalah Hijau.      Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, Indonesia.

Tanah di Indonesia

BAB 1. PENDAHULUAN

Fungsi pokok tanah : (1)Mendukung secara berkelanjutan produksi komoditas hayati, (2)untuk mendukung secara berkelanjutan kesehatan ekosistem, (3)Mata rantai daur hidrologi terestrik, dan (4)Melindungi mutu lingkungan air dan udara yang berantarmuka (Interfacing) dengan tanah (Harris & Bezdicek, 1994, yang diperluas). Keempat fungsi pokok tanah menjadi rujukan penilaian keselamatan sumber daya tanah dalam proses pembangunan nasional.

Keselamatan sumber daya tanah diukur menurut seberapa besar kemampuan yang masih dimiliki tanah menjalankan fungsi-fungsi pokoknya. Setiap kegiatan pembangunan selalu mengakibatkan perubahan pada lingkungan karena bertujuan : (1)Meningkatkan produktivitas sumberdaya, (2)Menganekaragamkan hasil peoduksi, (3)Memperbaiki tata ruang atau sistem peruntukan sumberdaya, (4)Memasukan fungsi konservasi, (5)dsb. Ada 4 pengaruh hakiki pembangunan atas lingkungan, termasuk atas tanah sebagai komponen lingkungan, yaitu : (1)Mengubah sifat dan perilaku komponen lingkungan, (2)Mengubah saling nasabah antar komponen lingkungan, (3) Mengubah tata ruang, dan (4)Memasukan limbah atau sisa proses ke- dalam lingkungan. Pengaruh-pengaruh ini selanjutnya akan mempengaruhi kinerja komponen lingkungan.

Perubahan lingkungan kehidupan akhirnya akan mengimbas perubahan pandangan, sikap, dan perilaku masyarakat, yang pada gilirannya akan memunculkan kebutuhan akan pemaknaan ulang hubungan manusia dengan lingkungannya. Tergantung pada faktor-faktor obyektif dan subyektif yang dihadapi masyarakat, pemaknaan ulang ini mengarah ke penggunaan sumberdaya secara lebih rasional, atau sebaliknya mengarah ke yang lebih eksploitatif.

Pemaknaan hubungan manusia dengan lingkungannya tercermin pada: (1)hukum yang diberlakukan, baik yang tidak tertulis (hukum adat) maupun yang positif berupa peraturan perundangan, (2)teknologi yang diterapkan, mencakup teknologi tanah dan teknologi pendayagunaan lahan lain yang akibatnya dapat berdampak atas tanah, dan (3)kebijakan yang dibuat, mencakup segala arahan tindakan sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Hukum, teknologi dan kebijakan bersumber dalam cerapan, visi, dan misi yang diemban dalam upaya memajukan kehidupan bangsa dan negara.

Kemampuan sumberdaya tanah menjalankan fungsi-fungsi pokok ditentukan oleh: (1)sifat-sifatnya, (2)luas hamparannya, dan (3)beban yang dipikul. Kemampuan menurun karena kemunduran sifat yang disebabkan oleh kesalahan pengelolaan atau terkena dampak negatif. Dapat juga karena penyusutan luas hamparan yang disebabkan oleh perubahan tata ruang. Kemampuan menjadi tidak mencukupi karena pemberian beban kerja terlalu berat,  melampaui batas kemampuannya, yang disebabkan oleh penggunaan berlebiahan yang menjurus ke arah eksploitasi. Pengguanaan lampau batas akhirnya akan memundurkan sifat tanah. Perubahan faktor-faktor penentu kemampuan sumberdaya tanah saling menentukan akibatnya. Kemunduran sifat menjadi lebih gawat kalau disertai penyusutan luas hamparan, dan sebaliknya.

Keselamatan sumberdaya tanah dapat dijamin dengan pengawetan sifat-sifat tanah, pencegahan penyusutan luas hamparan tanah, atau dengan mengusahakan agar perubahan masing-masing dapat saling mengompensasi, dan menghindari penetapan peruntukan tanah yang menyalahi asas tataguna lahan.

BAB 2. LUAS WILAYAH REPUBLIK INDONESIA

Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara, terletak di garis khatulistiwa berada diantara Benua Asia dan Benua Australia, dan berada diantara dua samudera yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Indonesia terdiri dari 17.508 pulau dengan jumlah luas daerahnya yaitu 2.539.435 km², dan memiliki penduduk berjumlah 222 juta jiwa pada tahun 2006 (wikipedia.org, atlas 2000 ). Pada awalnya, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari 27 provinsi. Namun, dalam perkembangannya wilayah tersebut  bertambah menjadi 33 provinsi. Perkembangan ini disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah dalam menata kehidupan bangsa.

2.1.Pulau Sumatra.

No. Daerah Provinsi

Luas Daerah (km²)

Penduduk

Berdiri

1

Nangroe Aceh Darussalam

55.392

3,9 juta jiwa

7 Des.1959

2

Sumatra Utara

70.787

11,5 juta jiwa

7 Des.1956

3

Sumatra Barat

42.297

4,2 juta jiwa

3 Juli1958

4

Sumatra Selatan

109.254

7,75 juta jiwa

14 Ags.1950

5

Riau

94.561

4,7 juta jiwa

25 Juli1958

6

Jambi

53.436

2,4 juta jiwa

2 Juli1958

7

Bengkulu

19.786

1,4 juta jiwa

2 Sept.1967

8

Lampung

35.376

6,6 juta jiwa

13 Feb.1964

9

Kep.Bangka Belitung

14.640

940.700 jiwa

4 Des.2000

10

Kep.Riau

13.740

992.970 jiwa

24 Sept.2002

Sumber : Atlas Indonesia baru, 2000

2.2.Pulau Jawa.

No. Daerah Provinsi

Luas Daerah (km²)

Penduduk

Berdiri

1

DKI Jakarta

656

8,5 juta jiwa

10 Feb.1965

2

Jawa Barat

44.176

43,5 juta jiwa

14 Juli 1950

3

Banten

8.234

4,2 juta jiwa

17 Okt.2000

4

Jawa Tengah

34.862

30,8 juta jiwa

4 Juli 1950

5

D.I. Yogyakarta

3.146

3,1 juta jiwa

4 Maret 1950

6

Jawa Timur

47.921

34,5 juta jiwa

4 Maret 1950

Sumber : Atlas Indonesia baru, 2000

2.3.Pulau Bali.

No. Daerah Provinsi

Luas Daerah (km²)

Penduduk

Berdiri

1

Bali

5.632

3,1 juta jiwa

14 Ags.1958

Sumber : Atlas Indonesia baru, 2000

2.4.Pulau Nusa Tenggara.

No. Daerah Provinsi

Luas Daerah (km²)

Penduduk

Berdiri

1

Nusa Tenggara Barat

20.153

3,8 juta jiwa

14 Ags.1958

2

Nusa Tenggara Timur

4.789

3,7 juta jiwa

14 Ags.1958

Sumber : Atlas Indonesia baru, 2000

2.5.Pulau Kalimantan.

No. Daerah Provinsi

Luas Daerah (km²)

Penduduk

Berdiri

1

Kalimantan Barat

146.807

3,7 juta jiwa

7 Des.1956

2

Kalimantan Tengah

153.800

1,8 juta jiwa

2 Juli 1958

3

Kalimantan Timur

211.440

2,4 juta jiwa

7 Des.1956

4

Kalimantan Selatan

37.377

2,9 juta jiwa

7 Des.1956

Sumber : Atlas Indonesia baru, 2000

2.6.Pulau Sulawesi.

No. Daerah Provinsi

Luas Daerah (km²)

Penduduk

Berdiri

1

Sulawesi Utara

25.786

2,8 juta jiwa

13 Des.1960

2

Gorontalo

10.804

840.386 jiwa

22 Des.2000

3

Sulawesi Selatan

62.482

7,77 juta jiwa

13 Des.1960

4

Sulawesi Tengah

68.033

2 juta jiwa

23 Sept.1964

5

Sulawesi Tenggara

38.140

1,77 juta jiwa

22 Sept.1964

6

Sulawesi Barat

16.787

966.535 jiwa

24 Okt.2004

Sumber : Atlas Indonesia baru, 2000

2.7.Kepulauan Maluku.

No. Daerah Provinsi

Luas Daerah (km²)

Penduduk

Berdiri

1

Maluku

74.505

1,1 juta jiwa

1 Juli 1958

2

Maluku Utara

590.154

1,3 juta jiwa

4 Okt.1999

Sumber : Atlas Indonesia baru, 2000

2.8.Pulau Papua.

No. Daerah Provinsi

Luas Daerah (km²)

Penduduk

Berdiri

1

Papua

309.934

1.841.358 jiwa

4 Okt.1999

2

Papua Barat

114.566

566.563 jiwa

4 Okt.1999

Sumber : Atlas Indonesia baru, 2000

Adapun sekitar 70% wilayah Indonesia merupakan lautan, dari jumlah keseluruhan luas Indonesia didaratan maupun lautan. Laut yang ada yaitu Laut Jawa, Laut Banda, dan Laut Flores. Batas wilayah perairan diatur menurut Hukum Laut Internasional :

2.a). Batas Laut Teritorial

Batas wilayah laut sejauh 12 mil diukur dari garis pantai paling luar indonesia. Jika berbatasan dengan negara tetangga, batas laut teritorialnya ditetapkan menurut perjanjian kedua negara yang bersangkutan. Dalam batas wilayah laut, termasuk kekayaan alam yang ada didalamnya serta wilayah udara diatasnya.

2.b). Batas Landasan Kontinen

Batas wilayah dasar laut yang didalamnya tidak lebih dari 200 meter dan jauhnya tidak lebih dari 200 mil.

2.c). Zone Economy Exclusive (ZEE)

Batas wilayah laut dilihat dari segi ekonomi. Batas ZEE Indonesia sejauh 200 mil diukur dari garis pantai ke arah laut bebas. Dalam zona ini Indonesia berhak atas pemanfaatan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya (IKAPI, cetakan 1 2007 ).

BAB 3. FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK TANAH

Ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi proses pembentukan tanah, antara lain iklim, organisme, bahan induk, topografi, dan waktu. Faktor-faktor tersebut dapat dirumuskan dengan rumus sebagai berikut:

T = f (i, o, b, t, w)
Keterangan
T = tanah b = bahan induk
f = faktor t = topografi
i = iklim w = waktu
o = organisme
Faktor-faktor pembentuk tanah tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
3.1. Iklim
Unsur-unsur iklim yang mempengaruhi proses pembentukan tanah terutama ada dua, yaitu suhu dan curah hujan.
a. Suhu/Temperatur
Suhu akan berpengaruh terhadap proses pelapukan bahan induk. Apabila suhu tinggi, maka proses pelapukan akan berlangsung cepat sehingga pembentukan tanah akan cepat pula.
b. Curah hujan
Curah hujan akan berpengaruh terhadap kekuatan erosi dan pencucian tanah, sedangkan pencucian tanah yang cepat menyebabkan tanah menjadi asam (pH tanah menjadi rendah).
3.2. Organisme (Vegetasi, Jasad renik/mikroorganisme)
Organisme sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan tanah dalam hal:
a. Membuat proses pelapukan baik pelapukan organik maupun pelapukan kimiawi.
Pelapukan organik adalah pelapukan yang dilakukan oleh makhluk hidup (hewan dan tumbuhan), sedangkan pelapukan kimiawi adalah pelapukan yang terjadi oleh proses kimia seperti batu kapur larut oleh air.
b. Membantu proses pembentukan humus. Tumbuhan akan menghasilkan dan menyisakan daun-daunan dan ranting-ranting yang menumpuk di permukaan tanah. Daun dan ranting itu akan membusuk dengan bantuan jasad renik/mikroorganisme yang ada di dalam tanah.
c. Pengaruh jenis vegetasi terhadap sifat-sifat tanah sangat nyata terjadi di daerah beriklim sedang seperti di Eropa dan Amerika. Vegetasi hutan dapat membentuk tanah. Vegetasi hutan dapat membentuk tanah hutan dengan warna merah, sedangkan vegetasi rumput membentuk tanah berwarna hitam karena banyak kandungan bahan organis yang berasal dari akar-akar dan sisa-sisa rumput.
d. Kandungan unsur-unsur kimia yang terdapat pada tanaman berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah. Contoh, jenis cemara akan memberi unsur-unsur kimia seperti Ca, Mg, dan K yang relatif rendah, akibatnya tanah di bawah pohon cemara derajat keasamannya lebih tinggi daripada tanah di bawah pohon jati.
3.3. Bahan Induk
Bahan induk terdiri dari batuan vulkanik, batuan beku, batuan sedimen (endapan), dan batuan metamorf.
Batuan induk itu akan hancur menjadi bahan induk, kemudian akan mengalami pelapukan dan menjadi tanah.
Tanah yang terdapat di permukaan bumi sebagian memperlihatkan sifat (terutama sifat kimia) yang sama dengan bahan induknya. Bahan induknya masih terlihat misalnya tanah berstuktur pasir berasal dari bahan induk yang kandungan pasirnya tinggi. Susunan kimia dan mineral bahan induk akan mempengaruhi intensitas tingkat pelapukan dan vegetasi diatasnya. Bahan induk yang banyak mengandung unsur Ca akan membentuk tanah dengan kadar ion Ca yang banyak pula sehingga dapat menghindari pencucian asam silikat dan sebagian lagi dapat membentuk tanah yang berwarna kelabu. Sebaliknya bahan induk yang kurang kandungan kapurnya membentuk tanah yang warnanya lebih merah.
3.4 Topografi/Relief
Keadaan relief suatu daerah akan mempengaruhi:
a. Tebal atau tipisnya lapisan tanah
Daerah yang memiliki topografi miring dan berbukit lapisan tanahnya lebih tipis karena tererosi, sedangkan daerah yang datar lapisan tanahnya tebal karena terjadi sedimentasi.
b. Sistem drainase/pengaliran
Daerah yang drainasenya jelek seperti sering tergenang menyebabkan tanahnya menjadi asam
3.5. Waktu
Tanah merupakan benda alam yang terus menerus berubah, akibat pelapukan dan pencucian yang terus menerus. Oleh karena itu tanah akan menjadi semakin tua dan kurus. Mineral yang banyak mengandung unsur hara telah habis mengalami pelapukan sehingga tinggal mineral yang sukar lapuk seperti kuarsa.
Karena proses pembentukan tanah yang terus berjalan, maka induk tanah berubah berturut-turut menjadi tanah muda, tanah dewasa, dan tanah tua. Untuk jelasnya lihat gambar berikut:

Penjelasan Tanah Muda ditandai oleh proses pembentukan tanah yang masih tampak pencampuran antara bahan organik dan bahan mineral atau masih tampak struktur bahan induknya. Contoh tanah muda adalah tanah aluvial, regosol dan litosol. Tanah Dewasa ditandai oleh proses yang lebih lanjut sehingga tanah muda dapat berubah menjadi tanah dewasa, yaitu dengan proses pembentukan horison B. Contoh tanah dewasa adalah andosol, latosol, grumosol.

Tanah Tua proses pembentukan tanah berlangsung lebih lanjut sehingga terjadi proses perubahan-perubahan yang nyata pada horizon-horoson A dan B. Akibatnya terbentuk horizon Contoh tanah pada tingkat tua adalah jenis tanah podsolik dan latosol tua (laterit) .

Lamanya waktu yang diperlukan untuk pembentukan tanah berbeda-beda. Bahan induk vulkanik yang lepas-lepas seperti abu vulkanik memerlukan waktu 100 tahun untuk membentuk tanah muda, dan 1000 – 10.000 tahun untuk membentuk tanah dewasa. Secara ringkas faktor-faktor pembentuk tanah digambarkan seperti berikut:

BAB 4. PENYEBARAN TANAH DI INDONESIA

Adanya hubungan yang erat antara tanah dan sifat-sifat serta penyebarannya dengan “landform” dan iklim. Hal ini berkaitan dengan sifat batuan atau litologi serta iklim dalam proses pembentukan “landform” dan pelapukan batuan dan bahan induk tanah (Desaunettes, 1977). Tanah yang ada di Indonesia khususnya yang ada di Indonesia terbentuk dari berbagai bahan induk, yaitu bahan organik, aluvium, batu gamping, metamorf, sedimen, plutonik, dan vulkanik. Dalam kaitannya dengan iklim, tanah yang terdapat di daerah yang beriklim basah (Kalimantan, Maluku, sebagian Irian Jaya) terutama yang terbentuk dari bahan induk sedimen, plutonik dan vulkanik, cenderung bereaksi masam (pH < 5.50). Sebaliknya tanah yang terdapat didaerah beriklim kering, yaitu sebagian Sulawesi, Nusa Tenggara Timur,dan sebagian Irian Jaya (daerah Merauke) cenderung bereaksi netral alkali (pH > 6.30-8).

Penyebaran bahan organik yang aling luas terdapat di Kalimantan dan Irian Jaya, karena di kedua wilayah tersenut terdapat “landform” gambut yang sangat luas, baik gambut pedalaman yang berupa kubah gambut (“peat dome”) maupun gambut pasang surut (“tidal peat”).

Bahan aluvium terdiri atas aluvium marin dan aluvium sungai (fluviatin). Sesuai dengan tipologi wilayahnya penyebaran bahan induk aluvium yang paling luas terdapat di Kalimantan dan Irian Jaya, yaitu pada daaran yang termasuk landform marin dan aluvial.

Bahan induk batu gamping tersebar pada landform karst yang terdapat hampir di semua wilayah, kecuali di Kalimantan Barat dan relatif sangat sedikit di Kalteng dan Sulawesi Utara.

Batuan metamorf terdapat pada landform tektonik/struktural. Penyebarannya terluas terdapat di Irian Jaya pada topografi berbukit dan bergunung, diikuti oleh Sulawesi Tengah, Maluku, dll.

Batuan sedimen yang dapat berupa batu liat, batu pasir batu denu atau batu lanau tersebar merata di semua wilayah. Namun daerah terluas terdapat di daerah Irian Jaya, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.

Batuan Plutonik penyebaran terluas berturut-turut terdapat di wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tengah. Bahan vulkanik dapat berupa batuan kokoh (consolidate rock) atau berupa bahan lunak (tufa) atau lepas (pasir). Bahan vulkanik terdapat di semua wilayah khususnya di Pulau Jawa, tetapi yang paling luas di wilayah timur Indonesia berturut-turut antara lain di Sulawesi Utara, NTB, NTT, Maluku, dan Sulsel. Masing-masing bahan induk tersebut membentuk tanah yang sifatnya beragam. Namun keragaman sifat tanah tidak hanya dipengaruhi oleh bahan induk, karena sifat tanah dapat berbeda, walaupun bahan induknya sama. Hal ini karena proses pembentukan tanah selain ditentukan oleh bahan induk juga dipengaruhi oleh faktor pembentuk tanah lainnya seperti iklim. Di wilayah timur Indonesia, faktor iklim ini dominan pengaruhnya terhadap sifat tanah.

4.1. Jenis Tanah di Indonesia

Indonesia adalah negara kepulauan dengan daratan yang luas dengan jenis tanah yang berbeda-beda. Berikut ini adalah macam-macam / jenis-jenis tanah yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4.1.1. Tanah Humus

Tanah humus adalah tanah yang sangat subur terbentuk dari lapukan daun dan batang pohon di hutan hujan tropis yang lebat.

4.1.2. Tanah Pasir

Tanah pasir adalah tanah yang bersifat kurang baik bagi pertanian yang terbentuk dari batuan beku serta batuan sedimen yang memiliki butir kasar dan berkerikil.

4.1.3. Tanah Alluvial / Tanah Endapan

Tanah aluvial adalah tanah yang dibentuk dari lumpur sungai yang mengendap di dataran rendah yang memiliki sifat tanah yang subur dan cocok untuk lahan pertanian.

4.1.4. Tanah Podzolit

Tanah podzolit adalah tanah subur yang umumnya berada di pegunungan dengan curah hujan yang tinggi dan bersuhu rendah / dingin.

4.1.5. Tanah Vulkanik / Tanah Gunung Berapi

Tanah vulkanis adalah tanah yang terbentuk dari lapukan materi letusan gunung berapi yang subur mengandung zat hara yang tinggi. Jenis tanah vulkanik dapat dijumpai di sekitar lereng gunung berapi.

4.1.6. Tanah Laterit

Tanah laterit adalah tanah tidak subur yang tadinya subur dan kaya akan unsur hara, namun unsur hara tersebut hilang karena larut dibawa oleh air hujan yang tinggi. Contoh : Kalimantan Barat dan Lampung.

4.1.7. Tanah Mediteran / Tanah Kapur

Tanah mediteran adalah tanah sifatnya tidak subur yang terbentuk dari pelapukan batuan yang kapur. Contoh : Nusa Tenggara, Maluku, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

4.1.8. Tanah Gambut / Tanah Organosol

Tanah organosol adalah jenis tanah yang kurang subur untuk bercocok tanam yang merupakan hasil bentukan pelapukan tumbuhan rawa. Contoh : rawa Kalimantan, Papua dan Sumatera.

4.2. Landform

Dalam klasifikasi landform terbagi kedalam sembilan grup utama, yang dibagi lagi lebih lanjut dalam subgrup dan kategori-kategori lebih rendah.

4.2.1.Group Aluvial, simbol:A.

Landform muda (resen dan subresen) yang terbentuk dari proses fluvial (aktivitas sungai), koluvial (gravitasi), atau gabungan dari keduanya. Pembagian selanjutnya dari group aluvial sebagai berikut:

– Lahan Aluvial, yaitu wilayah yang terbentuk karena proses fluvial dari bahan endapan sungai, biasanya berlapis-lapis dengan tekstur beragam, dicirikan oleh adanya kerikil/batu yang bentuknya membulat. Dan lahan aluvial ini terbagi lagi menjadi dataran banjir, teras sungai, dan dataran aluvial.

– Lahan Aluvio-Koluvial, yaitu lahan agak datar sampai miring terbentuk karena proses fluvial dan koluvial di antara bukit-bukit atau kaki bukit gunung. Dan lahan ini terbagi lagi menjadi kipas aluvial, lahan koluvial, dan dataran antar perbukitan.

– Basin Aluvial, yaitu daerah rendah (basin) dimana air disekitarnya mengalir ke tempat tersebut. Terbagi menjadi basin tertutup/lakustrin, dan depresi aluvial.

4.2.2.Group Marin, simbol:M.

Landform yang terbentuk oleh proses marin, baik proses yang bersifat konstruktif (pengendapan) maupun destruktif (abrasi). Daerah yang terpengaruh air permukaan yang bersifat asin secara langsung ataupun daerah pasang surut tergolong dalam landform ini. Pembagian selanjutnya sebagai berikut:

– Pesisir, yaitu daerah peralihan antara darat dan laut yang terbentuk karena endapan gelombang laut, baik dari bahan pengikisan tebing maupun bahan-bahan yang dibawa sungai ke laut. Terbagi lagi menjadi punggung dan cekungan pesisir.

– Dataran pasang surut, yaitu daerah rawa-rawa yang dipengaruhi secara langsung oleh pasang surut air laut. Terbagi menjadi dataran pasang surut pasir, dataran pasang surut lumpur, dan rawa belakang pasang surut.

– Teras Marin, yaitu dataran pantai yang terangkat dan bahannya tersiri dari bahan endapan laut yang tidak kukuh serta lepas. Terbagi lagi menjadi teras marin resen, dan teras marin subresen.

– Terumbu karang, yaitu masa batu gamping di pinggir laut terjadi akibat pengangkatan.

4.2.3.Group Fluvio-Marin, simbol:B.

Landform yang terbentuk oleh gabungan dari proses fluvial dan dan marin. Keberadaan landform ini dapat terbentuk pada lingkungan laut (berupa delta) ataupun di muara sungai yang terpengaruh langsung oleh aktivitas laut.

4.2.4.Group Gambut, simbol:G.

Landform yang terbentuk di daerah rawa (bik rawa pedalaman maupun di daerah pantai) dengan akumulasi bahan organik cukup tebal, landform ini dapat berupa kubah ataupun tidak.

4.2.5.Group Eolin, simbol:E.

Landform yang terbentuk oleh proses pengendapan bahan halus (pasir,debu) yang terbawa angin.

4.2.6.Group Karts, simbol:K.

Landform yang didominasi oleh bahan batu gamping keras dan masif, pada umumnya keadaan topografi daerah tidak teratur. Landform ini terbentuk terutama karena proses pelarutan bahan batuan penyusun, dengan terjadinya antara lain: sungai dibawah tanah, gua-gua dengan stalaktit dan stalagnit, sinkhole, doline, uvala, polje, dan tower karts.

4.2.7.Group Volkanik, simbol:V.

Landform yang terbentuk karena aktivitas gunung api/volkan. Landform ini bercirikan adanya bentukan kerucut volkan, aliran lahar, lava ataupun wilayah yang merupakan akumulasi bahan organik.

4.2.8.Group Tektonik dan Struktural, simbol:T.

Landform yang terbentuk sebagai akibat dari proses tektonik (orogenesis dan epirogenesis) berupa proses angkatan, lipatan dan atau patahan. Umumnya landform ini mempunyai bentukan yang ditentukan oleh proses-proses tersebut dan karena sifat litologinya (struktural).

4.2.9.Group Aneka, simbol:X.

Bentukan alam atau hasil kegiatan manusia yang tidak termasuk dalam group yang telah dipaparkan di atas, misalnya: lahan rusak, singkapan batuan, penambangan, landslide, wilayah sangat berbatu dan lain-lain.

4.3. Perkembangan Klasifikasi Tanah

Sistem klasifikasi tanah di dunia terbagi menjadi dua yaitu klasifikasi secara alami dan klasifikasi secara teknis. Klasifikasi secara alami adalah klasifikasi tanah yang didasarkan atas sifat tanah yang dimilikinya tanpa menghubungkan dengan tujuan penggunaan tanah tersebut. Sedangkan klasifikasi teknis ialah klasifikasi tanah berdasarkan sifat-sifat tanah yang mempengaruhi kemampuan tanah untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Sistem klasifikasi tanah secara alami di dunia ini berbagai macam, karena banyak negara-negara yang menggunakan sistem klasifikasi sesuai dengan perkembangan yang terjadi di negaranya. Di Indonesia sendiri sekarang ini paling sedikit dikenal tiga sistem klasifikasi tanah yang masing-masing dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor, FAO/UNESCO dan USDA  (Amerika Serikat).

Seperti halnya klasifikasi hewan atau tanaman, klasifikasi tanah juga mengenal berbagai tingkat kategori klasifikasi. Pada kategori tinggi tanah dibedakan secara garis besarnya, kemudian pada kategori berikutnya dibedakan lebih terperinci dan seterusnya sehingga pada kategori paling rendah tanah dibedakan dengan sangat terperinci. Sifat-sifat tanah yang digunakan untuk membedakan tanah pada kategori tinggi juga digunakan sebagai pembeda pada kategori yang rendah, sehingga jumlah faktor pembeda semakin meningkat dengan semakin rendahnya kategori.

Sistem pemetaan di Indonesia sendiri sudah dimulai sejak dulu yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah atau lembaga lain dalam hal pemetaan tanah. Umumnya pemetaaan sebelum tahun 70-an belum dilakukan secara teratur. Pemetaan tanah secara sistematik baru dimulai tahun 1977 oleh Pusat Penelitian Tanah (PPT) yang bekerjasama dengan FAO (Dessaunettes, 1977) yang dikenal dengan sistem Klasifikasi Landform Dessaunettes yang manualnya dicantumkan dalam buku, Catalogue Landform for Indonesia, tahun 1977. kemudian berkembang sistem pemetaaan tanah pada proyek RePPProT (Regional Phisycal Planning Programme for Transmigration,1980-an), dan proyek LREP (Land Resource Evaluation and Planning, pada tahun 1980-an). Pada prinsipnya ketiga metoda untuk inventarisasi sumber daya ini dilakukan dengan pendekatan lingkungan yang didasarkan pada proses geomorfik dan asal-usulnya. Perbedaan utama adalah ada pada pelaksanaanya, sehingga diperoleh perbedaan kedetilan data yang dihasilkan. Dalam pengumpulan data ketiga konsep yang berkembang di Indonesia ini adalah dengan menggunakan penginderaan jauh.

Berikut ini penjabaran secara umum mengenai sistem-sistem klasifikasi tanah yang telah dipergunakan seluruh dunia termasuk Indonesia, yang terdiri dari sistem taksonomi tanah USDA, sistem FAO/UNESCO, dan sistem klasifikasi yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor.

4.3.1.Taksonomi Tanah USDA

Sistem klasifikasi tanah baru dikembangkan oleh Amerika Serikat dengan nama Soil Taxonomy ( USDA, 1975, 1999) menggunakan enam kategori yaitu ordo, subordo, greatgroup, subgroup, family, seri. Sistem ini merupakan sistem terbaru baik mengenai cara-cara penamaan maupun definisi mengenai horizon penciri maupun sifat-sifat penciri tanah lain yang digunakan untuk menentukan jenis-jenis tanah.

4.3.2.Sistem FAO/UNESCO

Sistem ini dibuat dalam rangka pembuatan peta tanah dunia skala 1: 5.000.000 oleh FAO/UNESCO. Untuk ini telah dikembangkan suatu sistem klasifikasi dengan dua kategori. Kategori yang pertama kurang lebih setara dengan kstegori greatgroup sedangkan kategori kedua mirip dengan subgroup dalam sistem taksonomi USDA. Kategori yang lebih tinggi dan lebih rendah dari kedua kategori tersebut tidak dikembangkan. Untuk pengklasifikasian, digunakan sistem horizon-horizon penciri, sebagian dari kriteria-kriteria horizon penciri pada taksonomi tanah USDA dan sebagian lagi dari sistem klasifikasi tanah FAO sendiri.

4.3.3.Sistem Pusat Penelitian Tanah Bogor

Sistem klasifikasi tanah yang berasal dari PPT-Bogor dan telah banyak dikenal di Indonesia adalah sistem Dudal-Soepraptohardjo (1957). Sistem ini mirip dengan sistem Amerika Serikat terdahulu (Baldwin, Kellog, dan Thorp,1938; Thorp dan Smith,1994) dengan beberapa modifikasi dan tambahan. Dengan dikenalnya sistem FAO (1974) dan sistem USDA yang baru (Soil Taxonomy,1975), sistem tersebut telah pula mengalami penyempurnaan. Perubahan tersebut terutama menyangkut definisi jenis-jenis tanah (greatgroup) dan macam tanah (subgroup). Dengan perubahan-perubahan definisi tersebut maka disamping tanah-tanah lama yang tetap dipertahankan dikemukakanlah nama-nama baru yang kebanyakan mirip dengan dengan nama-nama tanah dari FAO, sedang sifat-sifat pembedanya digunakan horizon-horizon penciri seperti dikemukakan oleh USDA dalam Soil Taxonomy ataupun oleh FAO dalam Soil Map of the World.

4.3.4. Berikut ini padanan nama tanah menurut berbagai sistem klasifikasi tanah Indonesia(disederhanakan)

Sistem Dudol-Soepraptohardjo (1957-1961)

Modifikasi 1978/1982

(PPT)

FAO/UENESCO

(1974)

USDA Soil Taxonomy

(1975 – 1990)

  1. Tanah Aluvial
  1. Andosol
  1. Brown Forest Soil
  2. Grumusol
  1. Latosol
  1. Litosol
  1. Mediteran
  1. Organosol
  1. Podsol

10.  Podsolik Merah Kuning

11.  Podsolik Coklat

12.  Podsolik Coklat kelabu

13.  Regosol

14.  Renzina

15.  –

Tanah aluvial

Andosol

Kambisol

Grumusol

–          Kambisol

–          Latosol

–          Lateritik

Litosol

Mediteran

Organosol

Podsol

Podsolik

Kambisol

Podsolik

Regosol

Renzina

Ranker

Fluvisol

Andosol

Cambisol

Vertisol

–          Cambisol

–          Nitosol

–          Ferralsol

Litosol

Luvisol

Histosol

Podsol

Acrisol

Cambisol

Acrisol

Regosol

Renzina

Ranker

–          Entisol

–          Inceptisol

Andisol

Inceptisol

Vertisol

–          Inceptisol

–          Ultisol

–          Oxisol

Entisol (lithic Subgrup)

Alfisol/inceptisol

Histosol

Spodosol

Ultisol

Inceptisol

Ultisol

Entisol/Inceptisol

Rendoll

4.4. TANAH-TANAH PERTANIAN UTAMA DAN SIFAT-SIFATNYA

Potensi setiap jenis tanah untuk pertanian sangat ditentukan oleh sifat fisik, morfologi (tekstur, kedalaman tanah, drainase), dan sifat kimia tanah yang mencakup unsur-unsur yang berpengaruh terhadap status kesuburan tanah (N, P, K, dan unsur mikro) dan unsur-unsur yang bersifat toksik (aluminium, bahan sulfidik, garam). Sedangkan sifat mineralogi tanah akan sangat berpengaruh terhadap manajemen/pengolahan tanah, pengelolaan lahan pada tanah-tanah bertipe 2:1, serta terhadap kualitas produk tanaman.

Melalui berbagai penelitian yang telah dilakukan, tanah yang paling subur merupakan tanah yang berasal dari gunung berapi atau bahan alluvial baru. Tanah ini  pula yang telah umum digunakan oleh masyarakat sebagai lahan pertanian. Ironisnya populasi penduduk yang menempati jenis tanah tersebut meningkat serta terlalu padat dan jauh dari kelayakan pemukiman yang ada. Pulau Jawa, merupakan salah satu cerminan serta daerah/pulau percotohan yang terlihat. Selain di Pulau Jawa, Sumatera juga merupakan daerah yang mana tanah pertanian serta perkebunan dikembangkan dikarenkan tingkat kesuburan tanah yang relatif tinggi.

Tanah-tanah yang dimanfaatkan serta relatif layak untuk tanah pertanian di Indonesia antara lain : Inceptisol, Entisol, Vertisol, Alfisol. Pengolahan serta pengusahaan tanah tersebut sebagian besar telah dilakukan oleh manusia (masyarakat tani). Walaupun termasuk ke dalam kelompok tanah yang subur, akan tetapi dalam peningkatan produksinya masih diperlukan beberapa pengelolaan serta pengusahaan yang seintensif mungkin, yang mana azasnya harus berkesinambungan serta seimbang dengan ekstensifikasi lahan pertanian. Peningkataan kualitas tanah melalui pengelolaan yang tepat antara lain melalui pengaplikasian pemupukan yang sesuai dengan takaran serta dosis yang direkomendasikan. Selain itu pengusahaan yang tepat, yaitu dengan penggalakan panca usaha tani yang ada :

  1. Memperbaiki cara-cara budidaya tanaman (pengolahan) tanah
  2. Menggunakan varietas unggul
  3. Pemupukan
  4. Perlindungan terhadap hama penyakit tanaman
  5. Irigasi yang efisien (untuk padi sawah dan tanaman lain yang perlu irigasi)

Seperti yang telah diketahui, bahwa tanah-tanah yang belum diusahakan secara optimal di Indonesia dikarenakan berbagai faktor yang kurang dalam kesuburan tanah yang ada merupakan tanah marginal.

Adapun beberapa pertanian yang telah dipantau khususnya untuk daerah Indonesia bagian timur, umumnya semua wilayah yang ada di Indonesia antara lain :

Histosol di Indonesia, umumnya kurang berpotensi (marjinal), karena gambutnya yang tebal (> 2m) dan miskin unsur hara. Gambut yang ketebalannya kurang dari 1m atau yang mendapat pengayaan bahan mineral seperti yang terdapat di sepanjang sungai cukup berpotensi untuk sektor pertanian, baik untuk tanaman pangan maupun tanaman perkebunan walaupun ketebalan gambutnya lebih dari 2m.

Entisol terbentuk dari berbagai bahan induk, dan penyebarannya mulai dari dataran rendah pada topografi datar atau cekung di lahan basah sampai dataran tinggi pada topografi berbukit dan bergunung. Entisol yang terbentuk dari endapan sungai berpotensi untuk pertanian lahan basah (padi) dan perikanan air tawar. Entisol yang terdapat pada lahan kering, yang terbentuk dari bahan sedimen, batu gamping, terlebih jika dari bahan vulkanik, cukup berpotensi untuk pertanian tanaman pangan, perkebunan, buah-buahan, dan tanaman pakan ternak.

Inceptisols terbentuk dari bebagai bahan induk. Penyebarannya dimulai dari dataran rendah pada topografi datar atau cekung di lahan basah sampai dataran tinggi pada topografi berbukit dan bergunung. Inceptisols yang terdapat di lahan basah (dataran aluvial) berpotensi untuk pertanian lahan basah (padi dan perikanan air tawar), sedangkan yang terdapat di lahan kering sesuai untuk tanaman pagan lahan kering dan tanaman tahunan termasuk buah-buahan jika tanahnya cukup dalam > 50 cm (bukan lithic subgroup), dan untuk tanaman pakan ternak.

Vertisol pada umumnya terdapat di dataran rendah (<500 m dpl.) yang dapat terbentuk dari bahan koluvio-aluvium yang berasal dari lapukan batu gamping, sedimen, atau bahan vulkanik. Sifat fisik yang kurang baik, yaitu bertekstur liat sangat halus (very fine clay), sangat lekat sehingga sulit diolah, tidak stabil peka erosi dan mudah longsor (land slides). Pada musim kemarau tanah mengkerut (shringkage) sehingga terjadi rekahan (cracks), sedangkan pada musim hujan mengembang (swell) sehingga rekahan tersebut menutup kembali. Sifat kimia vertisol cukup baik asalkan kelembapannya terjaga. Berpotensi untuk tanaman pangan, dan tanaman tahunan (perkebunan).

Andisols terbetuk dari abu dan/atau pasir vulkan. Penyebarannya terdapat pada landform volkan pada ketinggian lebih dari 900 m dpl. (pada topografi bergunung). Tanah ini mempunyai sifat fisik, morfologi dan kimia tanah yang cukup baik. Tekstur tanahnya ringan (lempung berdebu), struktur tanahnya berbutir, konsistensi gembur sehingga mudah diolah, dan kemampuan meretensi air cukup tinggi. Tanah ini sangat berpotensi untuk tanaman sayuran dan umbi-umbian dataran tinggi, karena selain sifat tanahnya baik, suhu udara relatif rendah (<22oC).

Alfisols dapat terbentuk dari pelapukan dari batu gamping, batu plutonik, bahan vulkanik atau batuan sedimen. Penyebarannya terdapat pada landform karts, tektonik/struktural, atau volkan, yang biasanya pada topografi berombak, bergelombang sampai berbukit. Sifat fisik, morfologi dan kimia tanah relatif baik, mengandung basa-basa Ca, Mg, K,, dan Na, sehingga reaksi tanah biasanya netral (pH antara 6.50 – 7.50) dan kejenuhan basa > 35%. Tergantung keadaan topografi, tanah ini berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan kering dan/atau tahunan.

Mollisols seperti halnya Alfisols dapat terbentuk dari lapukan batu gamping, batuan plutonik, bahan vulkanik atau batuan sedimen. Sifat fisik, morfologi dan kimia tanah umunya sangat baik. Bahan organik yang relatif tinggi, basa-basa Ca, Mg, K, dan Na, sehingga reaksi tanahnya netral (6.50-7.50) kejenuhan basa > 50%. Tanahnya stabil dengan bahan organik yang relatif tinggi dan struktur tanah yag berbutir (granular) dan konsistensi yang gembur terutama di lapisan atas (epipedon mollik), tanah ini sangat berpotensi untuk pertanian, namun tergantung dari keadaan topografinya.

Ultisols umunya terbentuk dari batuan sedimen terutama batu liat dan batu pasir, tetapi sebagian ada juga yang terbentuk dari bahan vulkanik tua (tufa) yang bersifat asam, karena reaksi tanahnya tergolong masam atau sangat masam (pH 4-5), miskin akan basa-basa (Ca, Mg, K, dan Na), tetapi alumunium (Al) biasanya tinggi. Umunya terdapat di daerah yang beriklim basah (Kalimantan dan Irian Jaya). Dengan teknologi serta pengelolaan tanah yang tepat, maka tanah ini berpotensi untuk tanaman perkebunan terutama karet, kelapa sawit, kelapa, kakao, dan buah-buahan (durian, duku, manggis, jeruk, rambutan).

Oksisols terutama terbentuk dari batuan plutonik (ultra basis, pridotit) dan sedikit dari batuan sedimen atau bahan vulkanik. Sifat fisik serta morfologi yang cukup baik sehingga mudah diolah, etapi sifat kimianya kurang baik, antara lain KTK sangat rendah (<12 cmol). Namun dengan teknologi yang tersedia, kendala tersebut dapat diatas, sehingga tanah ini berpotensi untuk tanaman perkebunan.

Pada tabel hasil penelitian uji tanah dapat dilihat pola penyebaran serta jenis tanah-tanah pertanian di Indonesia melalui pengujian tanah pertanian yang ada. Dengan menambil salah satu karya tulis M. Al-Jabri (Balai Penelitian Tanah Bogor), yang berjudul Perkembangan Uji Tanah dan Strategi Program Uji Tanah Masa Depan di Indonesia beliau memaparkan kajian tentang pelaksanaan uji tanah dengan beberapa analisis tanah yang bervariatif yang telah berjalan dari tahun 1970-an. Karya tulis ini kami jadikan sebagai rujukan serta gambaran beberapa potensi tanah-tanah pertanian utama yang dilihat dari fungsi serta sifatnya dalam mendukung produktifitas pertanian Indonesia melalui berbagai teknik pengelolaan tanah yang tepat.

4.4.1. Sifat-sifat Tanah Pertanian (sebuah kajian pengelolaan tanah dari segi kesuburan tanah)

Kembali kepada Tabel 1.  mengenai uji tanah diatas, dapat dilihan beberapa metode (ekstraksi) P yang sering digunakan di Indonesia ialah larutan asam keras HCl 25% (nisbah 1:%), Bray 1 (HCl 0.025 N + NH4F 0.03 N; nisbah 1 : 10) dll. Sifat yang dapat dilihat adalah pada tanah sawah, dimana ketersediaan P meningkat (De Geus 1973), sehingga penggenangan meningkatkan ketersediaan P serta P yang diserap tanaman karena ferric phosphate [Fe2(H2PO4)3] direduksi menjadi ferrous phosphate [FeH2PO4]. Ini semua membuktikan bahwa padi yang ditanam pada kondisi tergenang kurang respons terhadap pupukP selama status awal ditentukan dengan HCl 25% (P potensial) pada nilai btas kritisnya lebih besar 20 P2O5/100 gr. Sebaliknya pada tanah kering dengan P awal pada nilai batas kritisnya lebih kecil 20 P2O5 /100gr. Indeks ketersediaan P melalui pendekatan serapan P di daerah tropika menjadi salah satu pertimbangan utamadalam pengelolaan tanah.

Untuk tanah Ultisol/podsolik menurut Sistem Pusat Penelitian Tanah Bogor (1982) merupakan tanah dengan horizon penimbunan liat (horizon argilik), dan kejenuhan basa yang kurang dari 50% tidak mempunyai horizon albik. Tanah Alluvial merupakn tanah yang berasal dari endapan baru berlapis-lapis , bahan organic jumlahnya berubah tidak teratur dengan kedalaman. Hanya terdapat epipedon orchrik, histik atau sulfuric, kandungan pasir kurang dari 60%. Sebelumnya telah disebutkan bahwa Tanah vulkanis adalah tanah yang terbentuk dari lapukan materi letusan gunung berapi yang subur mengandung zat hara yang tinggi. Jenis tanah vulkanik dapat dijumpai di sekitar lereng gunung berapi.

BAB 5.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

–          Luas daerah Indonesia yaitu 2.539.435 km², dan memiliki penduduk berjumlah 222 juta jiwa pada tahun 2006 ( wikipedia.org, atlas 2000 ).

–          Ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi proses pembentukan tanah, antara lain iklim, organisme, bahan induk, topografi, dan waktu.

–          Unsur-unsur iklim yang mempengaruhi proses pembentukan tanah terutama ada dua, yaitu suhu dan curah hujan.

–          Bahan induk terdiri dari batuan vulkanik, batuan beku, batuan sedimen (endapan), dan batuan metamorf.
Batuan induk itu akan hancur menjadi bahan induk, kemudian akan mengalami pelapukan dan menjadi tanah.

–          Indonesia adalah negara kepulauan dengan daratan yang luas dengan jenis tanah yang berbeda-beda. Berikut ini adalah macam-macam / jenis-jenis tanah yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

–          Tanah Humus

–          Tanah Pasir

–          Tanah Alluvial / Tanah Endapan

–          Tanah Podzolit

–          Tanah Vulkanik / Tanah Gunung Berapi

–          Tanah Laterit

–          Tanah Mediteran / Tanah Kapur

–          Tanah Gambut / Tanah Organosol

Tanah-tanah yang dimanfaatkan serta relatif layak untuk tanah pertanian di Indonesia antara lain : Inceptisol, Entisol, Vertisol, Alfisol.

5.2. Saran

Semoga dengan disusunnya makalah ini dapat menjadi sedikit masukan bagi peningkatan-peningkatan dalam pengelolaan sumberdaya tanah setelah penjabaran betapa pentingnya nilai tanah untuk dikelola dengan sebaik-baiknya.

Diharapkan dengan berkembangnya ilmu ini akan menjadi sumbangan berharga bagi pengetahuan tentang pengelolaan tanah dan air.

DAFTAR PUSTAKA

– Balai  Besar Penelitian dan Pengembanagan Sumber Daya Lahan Pertanian.

Email : Csar@indosat.net.id.

– Departemen Komunikasi dan Informasi, 2005.

– Hardjowigeno Sarwono,Prof.,Dr.,M.Sc. 2002. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, jakarta.

– Madjid Abdul,MS. Bahan koliah online,”Dasar-dasar Ilmu Tanah”.Universitas Sriwijaya.

– Al-jabri-M. Jurnal: “Perkembangan Uji Tanah dan Strategi Program Uji Tanah

Masa Depan di Indonesia”.

Penanggulangan Erosi Melalui Teknik Konservasi Tanah dan Air

Nama : Mohamad Dion Tiara

NPM : E1B050013

TUGAS KONSERVASI TANAH DAN AIR

EROSI

Erosi à Hilangnya atau terkikisnya tanah dari suatu tempat ke tempat lain yang diangkut oleh air atau angin.

Erosi berdampak secara :

# Langsung :

–          Kehilangan unsure hara

–          Kehilangan lapisan tanah (top soil) yang bersifat subur

–          Kerusakan pada beberapa infrastruktur/bangunan

–          Pendangkalan waduk atau sungai serta saluran air yang lain

–          Penurunan kualitas serta produktivitas lahan

–          Kerusakan ekosistem perairan

–          Frekuensi serta inensitas kekeringan yang semakin meningkat

# Tidak Langsung :

–          Pembukaan lahan baru

–          Penggunaan tanah menjadi berkurang

Nama : Mohamad Dion Tiara

NPM : E1B050013

TUGAS KONSERVASI TANAH DAN AIR

SOLUSI MELALUI KONSERVASI TANAH DAN AIR

Teknik Konservasi yang sederhana antara lain dengan memperbesar infiltrasi : pengolahan tanah, pembuatan galengan, tanah memotong lereng, pemberian pupuk organic, penggunaan mulsa, penutupan tanah dan tanaman.

Pada salah satu jurnal ilmiah ilmu tanah Integrated Crop Management menyebutkan bahwa : An effective conservation system also depends on the planning, observation, and timing of operations. Spring is a good time to make observations and develop a new, more comprehensive conservation system.

“Conservation structures such as terraces, grassed waterways, and field buffers are good components of a conservation system, which help in slowing water flow, settling out sediments, and directing water away from the field to a suitable outlet. Remember that field observations in the spring can help in developing a more comprehensive conservation plan that greatly improves soil and water quality”.

(Integrated Crop Management dalam Iowa University.com)

Dari kutipan yang didapat dari situs ilmiah ilmu tanah diatas dapat ditarik kesimpulan, yaitu mengenai konservasi tanah dan air dalam menghadapi erosi, antara lain:

  1. Konservasi tanah dan air yang efektif bergantung kepada perencanaan, observasi, serta waktu pelaksanaan konservasi di lapangan.
  2. Musim semi atau dalam hal ini untuk Indonesia, pada saat peralihan musim hujan merupakan waktu yang tepat dalam untuk pelaksanaan observasi serta membangun system konservasi yang baru serta komprehensif.
  3. Pengusahaan konservasi antara lain dengan pembuatan teras, peanaman rumput antara/dalam saluran air, pembuatan daerah penyangga, dimana dapat menurunkan intensitas waktu atau memperlambat aliran air, mengerukan sediment, sampai kepada usaha pemindahan serta pengalokasian buangan air yang tepat.
Nama : Mohamad Dion Tiara

NPM : E1B050013

TUGAS KONSERVASI TANAH DAN AIR

Berdasarkan data yang dibuat oleh puslitbangtanak pada tahun 2002, potensi lahan kering di Indonesia sekitar 75.133.840 ha. Suatu keadaan lahan yang sangat luas. Akan tetapi lahan-lahan kering tersebut tidak begitu menghasilkan dan berguna bagi masyarakat yang tinggal di sekitar area lahan kering. Hal ini disebabkan oleh masih kurangnya teknologi pengelolaan lahan kering sehingga sering mengakibatkan makin kritisnya lahan kering.

Erosi, kekurangan air dan kahat unsur hara adalah masalah yg paling serius di daerah lahan kering. Paket teknologi untuk mananggulangi masalah tersebut juga sudah banyak, akan tetapi kurang optimal di manfaatkan karena tidak begitu signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan petani daerah lahan kering. Memang perlu kesabaran dalam pengelolaan daerah lahan kering, karena meningkatkan produktivitas lahan di daerah lahan kering yang kondisi lahannya sebagian besar kritis dan potensial kritis tidaklah mudah.

Konservasi tanah dan air merupakan cara konvensional yang cukup mampu menanggulangi masalah diatas. Dengan menerapkan sisitem konservasi tanah dan air diharapkan bisa menanggulangi erosi, menyediakan air dan meningkatkan kandungan hara dalam tanah serta menjadikan lahan tidak kritis lagi. Ada 3 metode dalam dalam melakukan konservasi tanah dan air yaitu metode fisik dengan pegolahan tanahnya, metode vegetatif dengan memanfaatkan vegetasi dan tanaman untuk mengurangi erosi dan penyediaan air serta metode kimia yaitu memanfaatkan bahan2 kimia untuk mengaawetkan tanah.

Menurut Sitanala Arsyad (1989), Konservasi Tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukkannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Sedangkan konservasi Air menurut Deptan (2006) adalah upaya penyimpanan air secara maksimal pada musim penghujan dan pemanfaatannya secara efisien pada musim kemarau. Konservasi tanah dan konservasi air selalu berjalan beriringan dimana saat melakukan tindakan konservasi tanah juga di lakukan tindakan konservasi air.

Nama : Mohamad Dion Tiara

NPM : E1B050013

TUGAS KONSERVASI TANAH DAN AIR

Dengan dilakukan konservasi tanah dan air di lahan kering diharapkan mampu mengurangi laju erosi dan menyediakan air sepanjang tahun yang akhirnya mampu meningkatkan produktivitasnya. Tanah-tanah di daerah lahan kering sangat rentan terhadap erosi. Daerah lahan kering biasanya mempunyai curah hujan yg rendah dan intensitas yg rendah pula, dengan kondisi seperti itu menyebabkan susahnya tanaman tumbuh dan berkembang, padahal tanaman merupakan media penghambat agar butiran hujan tidak berbentur langsung dengan tanah. Benturan seperti inilah yg menyebabkan tanah mudah terurai sehingga gampang di bawa oleh aliran air permukaan dan akhirnya terjadi erosi. Pemanfaatan vegetasi pada sistem konservasi tanah dan air selain sebagai penghambat benturan juga berguna sebagai penghambat aliran permukaan, memperbaiki tekstur tanah dan meningkatkan kadar air tanah.

Penggabungan metode vegetatif dan fisik dalam satu teknologi diharapkan mampu mengefisienkan waktu dan biaya yg dibutuhkan. Misalkan penanaman tanaman pada sebuah guludan atau penanaman tanaman di sekitar rorak. Dan langkah terakhir yg di harapkan adalah penanaman tanaman yg bernilai ekonomis tinggi seperti jambu mete.

Komoditas Kelapa Sawit dan Karet dalam Perspektif Manajemen Agribisnis Indonesia

KOMODITAS KELAPA SAWIT

I. Lahan Pendukung Komoditas Kelapa Sawit

Lahan perkebunan kelapa sawit sangat ditunjang oleh ketersediaan dan penyebaran luas. Pada tahun 2005 areal Perkebunan Rakyat (PR) sekitar 2.202 ribu ha (40,44%), Perkebunan Besar Negara (PBN) 630 ribu ha (11,58%), Perkebunan Besar Swasta (PBS) 2.613 ribu ha (47,98%). Sumatera mendominasi ketiga jenis pengusahaan, sedangkanKalimantan dan Sulawesi menjadi lokasi pengembangan perkebunan swasta dan perkebunan rakyat. Selain itu untuk tahun 2006 lahan perkebunan kelapa sawit diproyeksikan mencapai 6.046 ribu ha (Ditjenbun dan PPKS, 2006 dalam Balitbang Deptan RI, 2007).

Lahan yang berpotensi tinggi adalah lahan yang memiliki Kelas Kesesuaian Lahan (KKL) untuk kelapa sawit tergolong sesuai (> 75%) dan sesuai bersyarat (<25%). Lahan berpotensi sedang memiliki KKL tergolong sesuai (25 – 25%) dan sesuai bersyarat (50 – 75%), sementara lahan yang berpotensi rendah memiliki KKL tergolong sesuai bersyarat (50 – 75%) dan tidak sesuai (25 – 50%). Penyebaran arel yang berpotensi untuk pengembangan kelapa sawit umumnya terdapat di Riau, Kalimantan barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Irian Jaya, Sumatera Utara, Bengkulu, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.

Saat ini areal berpotensi tinggi sudah terbatas ketersediaannya, dan areal yang masih cukup tersedia dan berpeluang untuk dikembangkan adalah berpotensi sedang sampai rendah. Topografi areal yang berbukit-bukit dengan kelerengan 25%-40% (areal dengan kemiringan lereng diatas 40% tidak disarankan untuk mengembangkan tanaman kelapa sawit. Kendala lain dari pengembangan usaha kelapa sawit ditinjau dari segi lahan ialah kedalaman efektif tanah yang dangkal, terutama daerah dengan jenis tanah yang memiliki kandungan batuan yang tinggi dan kondisi drainase yang kurang baik, lahan gambut, drainase yang jelek pada daaran pasang surut, dataran aluvium, dan lahan gambut. Selain itu adanya potensi lahan sulfat masam pada daerah pasang surut.

II. Karakteristik Iklim Perkebunan Kelapa Sawit

Iklim merupakan salah satu faktor pembatas bagi usaha pengembangan komoditas kelapa sawit erutama pada lahan tingkat kesesuaian sedang sampai rendah. Faktor iklim yaitu jumlah bulan kering yang berkisar 2 – 3 bulan/tahun yang menggambarkan penyebaran curah hujan yang tidak merata dalam setahun.

III. Biaya Produksi (Cost Production) Usaha Komoditas Kelapa Sawit

Usaha kelapa sawit terbagi menjadi pembangunan industri hulu, yaitu pembangunan kebun dan pabrik minyak sawit dan pengembangan industri hilir, yaitu pembangunan pabrik biodiesel. Biaya pengembangan produksi usaha komoditas kelapa sawit diperolah dari investasi yang mengandalkan perusahaan swasta, negara dan petani. Sebagian dari kebutuhan investasi, yaitu infrastruktur, transportasi, dan kelistrikan, diharapkan berasal dari pemerintah. Investor untuk pengembangan usaha berasal dari dalam dan luar negeri.

A. Investasi Kebun dan Pabrik Minyak Kelapa Sawit

1. Perluasan Kebun

Sesuai dengan arah pengembangan, maka rata-rata perluasan kebun di area bukaan baru dan jumlah peremajaan kebun pada 2006 – 2010 berturut-turut sebesar 72,64 ribu ha/tahun dan 77,25 ribu ha/tahun atau Indonesia melakukan penanaman baru sebanyak 649,89 ribu ha/tahun.

Perhitungan investasi untuk perluasan kebun sawit seluas 515.462 ha (plus 28 unit PKS 60 TBS/jam) adalah Rp. 23.410.138.630.114,- (Rp. 23,41 triliun) dengan perincian sebagai berikut :

(i)                 Indonesia Barat (Investasi perluasan kebun kelapa sawit 112.229 ha)

No.

Investor

Luas

(ha)

Jumlah investasi (Rp.000)

1

PR

74.668

2.129.508.960

2

PBN (plus 1 PKS 60 ton TBS/jam)

12.449

629.941.333

3

PBS (plus 5 PKS 60 ton TBS/jam)

25.113

1.619.221.282

Total

112.229

4.378.671.575

(ii)               Indonesia Timur (Investasi perluasan kebun kelapa sawit 403.233 ha)

No.

Investor

Luas

(ha)

Jumlah investasi (Rp.000)

1

PR

219.159

7.319.694.948

2

PBN (plus 1 PKS 60 ton TBS/jam)

15.104

1.002.391.545

3

PBS (plus 5 PKS 60 ton TBS/jam)

165.969

10.709.380.563

Total

403.233

19.031.467.055

Tabel  Biaya Investasi perluasan kebun kelapa sawit 515.62 ha dan peningkatan jumlah pabrik CPO 60 ton tbs/jam 28 buah (Indonesia Barat)

No.

Uraian

Investor

PR

PBN

PBS

1

Kebun (ha)

74.668

12.449

25.113

Tahun-0 (@ 7 jt/ha)

522.676.000

87.140.200

175.788.200

Tahun 1-3 (TBM I = 5,6 jt/ha; TBM II = Rp 5,2 jt/ha; TBM III = Rp 5,4 jt/ha)

1.209.621.600

201.667.320

406.824.120

2

Pabrik CPO kapasitas olah 60 ton TBS/jam; 6 unit @ Rp 106,2 milyar

106.200.000

531.000.000

3

Non Kebun

Jalan dan Jembatan (PR=Rp 2,5 jt/ha; PBN/PBS = Rp 4,5 jt/ha)

186.670.000

56.018.700

113.006.700

Bangunan, kantor, rumah, dll (PR=Rp 0/ha; PBN/PBS= Rp 4,5 jt/ha)

74.691.600

150.675.600

Sarana air dan listrik (PR=Rp 0/ha; PBN/PBS=Rp 1,25 jt/ha)

15.560.750

31.390.750

Kendaraan (PR=Rp 0/ha; PBN/PBS=Rp 2,25 jt/ha)

28.009.350

56.503.350

4

Infrastuktur pendukung

Penelitian pendahuluan (@ Rp 12rb/ha)

896.016

149.383

301.351

Penelitian (@Rp 45rb/ha)

3.360.060

560.187

1.130.067

Supervisi dan manajemen operasi (@Rp 125 rb/ha)

9.333.500

1.556.075

3.139.075

Jaringan listrik (PR=Rp 0/ha; PBN/PBS = Rp 15rb/ha)

186.729

376.689

Jalan penghubung ke lokasi terdekat (PR=Rp 45rb/ha; PBN/PBS = Rp 75 rb/ha)

3.360.060

933.645

1.883.445

5

Kontingensi 10%

193.591.724

57.267.394

147.201.935

Total Kebutuhan Investasi baru

2.129.508.960

629.941.333

1.619.221.282

Grand Total Indonesia barat

4.378.671.575

Tabel  Biaya Investasi perluasan kebun kelapa sawit 515.62 ha dan peningkatan jumlah pabrik CPO 60 ton tbs/jam 28 buah (Indonesia Timur)

No.

Uraian

Investor

PR

PBN

PBS

1

Kebun (ha)

219.159

18.104

165.969

Tahun-0 (@ 7 jt/ha)

1.764.229.950

145.738.810

1336.053.670

Tahun 1-3 (TBM I = 5,6 jt/ha; TBM II = Rp 5,2 jt/ha; TBM III = Rp 5,4 jt/ha)

4.082.932.170

337.281.246

3.092.009.922

2

Pabrik CPO kapasitas olah 60 ton TBS/jam; 6 unit @ Rp 106,2 milyar

114.696.000

2.408.616.000

3

Non Kebun

Jalan dan Jembatan (PR=Rp 2,5 jt/ha; PBN/PBS = Rp 4,5 jt/ha)

630.082.125

93.689.235

858.892.645

Bangunan, kantor, rumah, dll (PR=Rp 0/ha; PBN/PBS= Rp 4,5 jt/ha)

124.918.980

1.145.188.860

Sarana air dan listrik (PR=Rp 0/ha; PBN/PBS=Rp 1,25 jt/ha)

26.024.788

238.581.013

Kendaraan (PR=Rp 0/ha; PBN/PBS=Rp 2,25 jt/ha)

46.844.618

429.445.823

4

Infrastuktur pendukung

Penelitian pendahuluan (@ Rp 12rb/ha)

3.024.394

249.838

2.290.378

Penelitian (@Rp 45rb/ha)

11.341.478

936.892

8.588.916

Supervisi dan manajemen operasi (@Rp 125 rb/ha)

31.505.106

2.602.479

23.858.101

Jaringan listrik (PR=Rp 0/ha; PBN/PBS = Rp 15rb/ha)

312.297

2.862.972

Jalan penghubung ke lokasi terdekat (PR=Rp 45rb/ha; PBN/PBS = Rp 75 rb/ha)

12.327.694

1.697.269

15.559.631

5

Kontingensi 10%

784.253.030

107.399.094

1.147.433.632

Total Kebutuhan Investasi baru

7.319.694.948

1.002.391.545

10.709.380.563

Grand Total Indonesia Barat

19.031.467.055

Grand Total Indonesia Timur

23.410.138.630

IV. Risiko Usaha Komoditas Kelapa Sawit

1. Pencurian Hasil Panen

Lahan budidaya yang luas dan jumlah kelapa sawit yang banyak mengakibatkan susahnya pengawasan dan pengontrolan. Pencurian dan penjarahan hasil panen selalu saja terjadi. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu adanya pengamanan yang ekstra. Tetapi untuk merealisasikan hal tersebut dibutuhkan biaya yang tidak sedikit.

2. Gagal Panen

Penyakit dalam bentuk jamur, gulma dan hama yang menyerang pada perkebunan kelapa sawit sangat sulit dihilangkan dan bisa menular ke seluruh areal perkebunan, sehingga mengakibatkan gagal panen.

3. Harga yang Naik Turun

Harga pasar sewaktu-waktu dapat naik dan turun karena kelapa sawit merupakan komoditas yabg harganya mengikuti pasar di dunia dan kebijakan pemerintah. Hal ini bisa berdampak bagi siapapun yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit.

V. Tenaga Kerja dalam Usaha Komoditas Kelapa Sawit

VI. Kelembagaan dan Kebijakan Usaha Komoditas Kelapa Sawit

Organiasasi pengusaha yang berkaitan dengan agribisnis kelapa sawit meliputi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Asosiasi Pengusaha Oleokimia Indonesia (APOLIN), dan Federasi Minyak Nabati Indonesia (FAMNI). Sedangkan organisasi petani bernaung di bawah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) dan Gabungan Asosiasi Perkebunan Indonesia (GAPERINDO). Selain itu dibentuk pula Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI).

Beberapa kebijakan pemerintah Indonesia untuk minyak sawit antara lain:

(i)                 Kebijakan perdagangan untuk menghambat ekspor, stabilisasi hara minyak goreng dan ketersediaan bahan baku untuk industri dalam negeri diterapkan melalui penggunaan instrumn pajak ekspor

(ii)               Kebijakan perpajakan dan retribusi untuk meningkatkan penerimaan negara dan daerah melalui penggunaan instrumen pajak penghasilan, pertambahan nilai dan retribusi

(iii)             Kebijakan yang berkaitan dengan perijinan usaha/investasi, yaitu dengan adanya inegrasi vertikal antara kebun kelapa sawit dengan pengolahan dan integrasi horizontal antara kebun kelapa sawit dengan usaha lain, misal ternak

(iv)             Pengembangan perkenunan melalui penerapan 5 pola, yaitu:

Pola koperai usaha perkebunan (Pola KUP)

Pola patungan koperasi sebagai mayoritas pemegang saham dan investor sebagai minoritas pemegang saham (Pola Pat K-I)

Pola patungan investor sebagai mayoritas pemegang saham dan koperasi sebagai minoritas pemegang saham (pola Pat I-K),

Pola built, operated, and transferred (Pola BOT)

Pola Bank Tabungan Negara (BTN)

(v)               Usaha kelapa sawit tunduk pada peraturan yang diterapkan dalam UU No. 18 Tahun 2004 disamping aturan perundang-undangan lainnya

A. Arah Kebijakan Jangka Panjang 2025

Peluang pengembangan agribisnis kelapa sawit di Indonesia dapat dilihat dari ketersediaan sumberdaya alam/lahan, tenaga kerja, teknologi, maupun tenaga ahli. Misi yang dikembangkan dalam pembangunan sawit Indonesia ialah ”Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Kelapa Sawit yang Berdaya Saing, Berkerakyatan, Berkelanjutan, dan Terdesentralisasi”.

B. Kebijakan Jangka Menengah 2006-2010

1. Kebijakan peningkatan produktivitas dan mutu kelapa sawit

Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman serta mutu kelapa sawit secara bertahap, baik yang dihasilkan petani maupun oleh perkebunan besar. Program peningkatan produktivitas dan mutu kelapa sawit antara lain : peremajaan kelapa sawit, pengembangan industri benih yang berbasis teknologi dan pasar, peningkatan pengawasan dan pengujian mutu benih, perlindungan plasma nutfah kelapa sawit, pengembangan dan pemantapan kelembagaan petani.

2. Pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah kelapa sawit

Kebijakan ini dimaksudkan supaya ekspor kelapa sawit Indonesia tidak lagi berupa bahan mentah (CPO), tapi dalam bentuk hasil olahan, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dalam negeri dan lapangan kerja baru. Langkah untuk menempuh pengembangan industri hilir ini antara lain:

(i)                 Fasilitas pengembangan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) terpadu dengan refinery 5 – 10 ton TBS/jam di areal yang belum terkait dengan unit pengolahan dan pendirian pabrik Minyak Goreng Sawit (MGS) skala kecil di sentra produksi CPO yang belum ada pabrik MGS.

(ii)                Pengembangan industri hilir kelapa sawit di sentra-sentra produksi.

(iii)             Peningkatan kerja sama di bidang promosi, penelitian dan pengembangan serta pengembangan SDM dengan negara penghasil CPO.

(iv)             Fasilitas pengembangan biodiesel.

(v)               Pengembangan market riset dan market intelijen untuk memperkuat daya saing.

3. Kebijakan industri minyak goreng/makan terpadu.

Kebijakan ini diperlukan dikarenakan rawannya pasar minyak goreng di Indonesia dan besarnya biaya ekonomi dan sosial akibat kelangkaan bahan pangan ini dalam negeri dan goyahnya posisi Indonesia sebagai pemasok CPO terpercaya di pasar dunia. Harapan dari adanya arah kebijakan ini ialah adanya pengembngan komoditas penghasil minyak gorng yang jelas dan unsur-unsur pendukungnya.

4. Dukungan penyediaan dana.

Kebijakan ini dimaksudkan untuk tersedianya berbagai kemungkinan sumber pembiayaan yang sesuai untuk pengembangan kelapa sawit, baik yang berasal dari lembagaperbankan maupun non Bank.

C. Strategi Kebijakan

Tujuan

Strategi

  1. Meningkatkan ketahanan pangan

masyarakat

  1. Integrasi vertikal perkebunan kelapa sawit dan agroindustri yang menghasilkan produk turunan jenis pangan, seperti minyak goreng dan mentega
  2. integrasi horizontal perkebunan kelapa sawit dengan peternakan dan atau tanaman pangan
2. Menumbuhkembangkan usaha perkebunan

di pedesaan

  1. Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha pengolahan minyak sawit
  2. Mendorong penyediaan sara dan prasarana pengolahan kelapa sawit
3. Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya

perkebunan

  1. Peningkatan produksi dan produktivitas kebun kelapa sawit melalui inovasi teknologi
  2. Penyediaan sarana dan prasarana pendukung, terutama infrastruktur transportasi di dan ke perkebunan kelapa sawit dan infrastruktur pengolahan
  3. Pengembngan diversivikasi usaha
  4. Pemberantasan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan perlindungan sumberdaya perkebunan sawit
4. Membangun kelembagaan perkebunan

yang kokoh dan mandiri

  1. Revitalisasi dan mengembangkan organisasi pelaku usaha pada agribisnis kelapa sawit (kelompok tani, asosiasi petani dan gabungan asosiasi petani kelapa sawit, koperasi petani kelapa sawit dan dewan minyak sawit, serta organisasi lain) melalui inovasi kelembagaan
  2. Pengembangan aturan (UU dan aturan pelaksanaannya) untuk diterapkan di agribisnis kelapa sawit melalui harmonisasi regulasi
  3. pengebangan sumberdaya manusia sebagai pelaku yang handal pada agrobisnis kelapa sawit
5.  Meningkatkan kontribusi sub sektor

perkebunan dalam perekonomian nasional

  1. Peningkatan kualitas dan kuantitas TBS dan minyak kelapa sawit serta produk turunannya
  2. Pengembangan agroindustri yang mengolah minyak dan limbah kelapa sawit
  3. Pengembangan pasar minyak kelapa sawit dan produk turunannya
  4. Perlindungan usaha dan produk minyak sawit dan turunannya di pasar domestik
  5. Menjalin sinergi kebijakan antara lembaga pemerintah dan lembaga legislatif dan antara pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan perkebunan kelapa sawit sebagai motor penggerak ekonomi nasional dan daerah
6. Meningkatkan peran birokrasi 1.  Peningkatan kualitas, moral dan etos kerja aparat yang bertugas pada pengembangan agribisnis kelapa sawit

2.  Menciptakan lingkungan kerja yang kondusif

3.  mengembangkan sistem pengawasan yang efektif

Program Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit

1. Perencanaan, monitoring, dan evaluasi

Pengkajian prospek minyak sawit, produk turunan dan limbah kelapa sawit meliputi: kondisi dan kecenderungan penawaran dan permintaan ke depan, negara-negara pesaing, daya saing, produk substitusi, perkembangan tuntutan pasar dan selera konsumen.

Penyiapan bahan rumusan kebijakan di bidang pengembangan agribisnis kelapa sawit

Pendataan ketersediaan potensi wilayah pengembngan kelapa sawit, kondisi sumberdaya lahan (jenis dan kesuburan tanah, iklim ketinggian, topografi, dan peluang peranan dalam pengembangan ekonomi wilayah) dan kesesuaiannya.

Pengembangan sistem informasi yang mencakup akses untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai peluang usaha pada agribisnis kelapa sawit

Penciptaan iklim investasi yang mencakup berbagai dukungan kebijakan integral (sektoral, regional, dan komoditas) dan aturan pelaksanaan yang kondusif untuk investasi pada agribisnis kelapa sawit

Pengembangan pemberdayaan kelembagaan (organisasi, aturan, dan pelaku) usaha agribisnis kelapa sawit

Penyususnan dan penyerasian rencana dan program tahunan dalam pembangunan agribisnis kelapa sawit

Penyiapan bahan usulan program dan persiapan kerja sama terutama bantuan luar negeri dan penyusunan pedoman administrasi penyelenggaraannya

Pengembangan sistem monitoring, evaluasi dan pelaporan pengembangan agribisnis kelapa sawit

Penetapan model penumbuhan agribisnis kelapa sawit melalui pengembangan usaha budidaya, pengolahan dan pemasaran produk.

2. Pengembangan usaha

Pemanfaatan kawasan agribisnis kelapa sawit dengan titik berat pada aspek pengolahan dan pemasaran hasil

Perbaikan mutu dan agroindustri kelapa sawit di pedesaan

Pengembangan layanan penunjang agribisnis kelapa sawit di pedesaan

Pengembangan layanan penunjang agribisnis kelapa sawit, seperti sarana produksi, alsitan, teknologi dan permodalan

Diversivikasi produk kelapa sawit ke roduk turunannya

Percepatan pengembangan agribisnis di daerah-daerah pengembangan terutama Indonesia timur (Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya)

Pengembangan infrastruktur (transportasi, perhubungan, energi kelistrikan dan telekomunikasi) untuk mendorong pengembangan agribisnis kelapa sawit

Pegembangan penelitian untuk menghasilkan inovasi teknologi dan kelembagaan

Penguatan sistem perkarantinaan dan standar mutu produk kelapa sawit dan produk turunannya

Perluasan, intensifikasi dan rehabilitasi kebun kelapa sawit dengan menerapkan inovasi teknologi dan kelembagaan dalam rangka peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha

Peningkatan profesionalisme para pelaku, baik para petugas dari berbagai fungsi terkait di bidang pelayanan, bimbingan dan pendampingan kegiatan usaha budidaya tanaman tahunan, maupun para pelaku langsung kegiatan usaha yaitu: petani, masyarakat dan pengusaha

Pemberdayaan petani dan organisasi petani untuk pengembangan kemampuan petani dan organisasi petani untuk dapat memperoleh akses dalam memenuhi kebutuhan (modal, teknologi, agro-input, benih/bibit) dan pengembangan kemitraan antara petani dengan pengusaha dalam berbagai kegiatan di hulu hingga hilir.

3. Perbenihan

Pengembangan strategi yang tepat dalam pengadaan, penyediaan, dan pendistribusian benih kelapa sawit ke berbagai pelaku usaha di berbagai wilayah pengembangan agribisnis kelapa sawit

Penetapan baku mutu benih dan sistem pengendalian mutu benih untuk menghindari pemalsuan

Penyediaan benih kelapa sawit bermutu guna mendukung penumbuhan agribisnis kelapa sawit

Penumbuhan dan pengembangan usaha industri perbenihan, usaha penangkaran dan pembinaan pengembangannya.

4. Perlindungan tanaman

Penumbuhan dan pengembangan kesadaran dan kemampuan petani dalam pengendalian OPT kelapa sawit sebagai bagian dari usaha tani

Pelembagaan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) kelapa sawit serta penyediaan pedoman penerapan agen hayati untuk pengendalian OPT kelapa sawit.

Penerapan teknis budidaya sehat dan ramah lingkungan untuk mendapatkan produk yang aman konsumsi dan sumber daya alam yang lestari

Fasilitas pemberdayaan pelaku perlindungan tanaman kelapa sawit

Pengembangan koordinasi peramalan dan peringatan dini (Early warning System/EWS) terhadap epidemi hama penyakit tanaman kelapa sawit

5. Pemberdayaan masyarakat kelapa sawit

Pendidikan, pelatihan dan magang petani maupun petugas

Pendampingan dan pengawalan implementasi teknologi dan kelembagaan

Penghimpunan dana peremajaan dalam rangka keberlanjutan usaha

Pemantapan kelembagaan yang mendukung pengembangan agribisnis kelapa sawit

ANALISIS USAHA KOMODITAS KARET

Ditengah ancaman pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia akibat krisis keuangan, perekonomian Indonesia juga akan mendapat tekanan yang cukup berat. Pelemahan pertumbuhan ekonomi di negara-negara industri memberikan tekanan yang cukup besar terhadap kinerja ekspor komoditas, namun diharapkan dengan pangsa yang cukup besar dan adanya ekspektasi perbaikan perekonomian dunia dalam 2-3 tahun ke depan, ekspor komoditas masih tetap menjadi tumpuan perekonomian dalam jangka panjang. Ekspor komoditas yang selama ini menopang perekonomian pasca krisis 1997, diharapkan dapat kembali menjadi salah satu faktor penting dalam penguatan perekonomian Indonesia ke depan.

Kinerja ekspor komoditas pertanian menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik khususnya hasil perkebunan. Salah satu komoditas yang selama ini menjadi andalan ekspor adalah karet dan barang karet (pertumbuhan ekspor karet dan barang karet mencapai sekitar 65% dalam 3 tahun terakhir) di samping CPO yang tetap menjadi primadona ekspor.

Peranan karet dan barang karet terhadap ekspor nasional tidak dapat dianggap kecil mengingat Indonesia merupakan produsen karet no 2 (dua) terbesar di dunia dengan produksi sebesar 2,55 juta ton pada tahun 2007 setelah Thailand (produksi sebesar 2,97 juta ton) dan negara yang memiliki luas lahan karet terbesar di dunia dengan luas lahan mencapai 3,4 juta hektar di tahun 2007.

Tabel 1. Produksi karet alam negara produsen utama

Dengan posisi yang cukup strategis tersebut, karet diharapkan menjadi salah satu penggerak kebangkitan ekonomi melalui peningkatan produksi yang akan meningkatkan ekspor karet. Strategi optimalisasi ekspor karet dinilai tepat mengingat harganya yang cukup tinggi di pasar internasional dan kemampuan pasar dalam negeri untuk mengolah karet menjadi barang industri masih rendah.

Perkembangan harga karet menunjukkan tren cukup baik akibat meningkatnya permintaan dari negara berkembang yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi yang dimotori oleh industrialisasi seperti Cina (rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 10%) dan India (8%). Disamping dari negara tersebut, permintaan dari negara industri juga cukup tinggi seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea dan negara-negara industri di Eropa.

Tabel 2. Konsumsi karet alam negara konsumen utama

Tingginya pertumbuhan permintaan dari negara tersebut relatif tidak diikuti dengan pertumbuhan produksi dari negara-negara produsen karet. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya over demand pasar yang mendorong terjadinya peningkatan harga di pasar internasional, disamping terjadinya kenaikan harga minyak dunia yang juga berperan dalam mendorong kenaikan harga karet internasional. Menurut perkiraan IRSG (International Rubber Study Group), pada tahun 2020 dengan proyeksi permintaan dunia mencapai 10,9 juta ton dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi per tahun sebesar 9%, akan terjadi kekurangan pasokan karet bila produksi karet tidak mengalami pertumbuhan yang tinggi (diatas 9%).

Dari sisi kemampuan konsumsi industri dalam negeri, hanya sekitar 360 ribu ton hasil produksi karet alam di tahun 2007 yang dapat diserap industri dan dimanfaatkan sektor industri untuk menjadi barang jadi baik yang berupa ban, sarung tangan maupun alat-alat kesehatan dan berbagai barang jadi lainnya. Kondisi inimengakibatkan orientasi dari produksi karet masih tetap ekspor berupa lateks, RSS, SIR dan jenis karet alam lainnya.

Tabel 2. konsumsi karet dalam negeri

Potensi karet

Melihat potensi pasar karet yang cukup besar tersebut, perlu kiranya pemerintah beserta seluruh aspek yang terkait mendorong terciptanya suatu lingkungan yang dapat mengoptimalkan kinerja karet nasional.

Salah satu langkah yang dapat mendorong peningkatan produksi adalah peremajaan lahan karet yang sebagian besar telah memasuki tahapan tidak produktif (tanaman berusia di atas 20 tahun) di samping tetap melakukan perluasan lahan. Strategi peremajaan lahan karet dinilai cukup baik dengan luas lahan karet saat ini mencapai 3,4 juta hektar sehingga apabila lahan tersebut dioptimalkan melalui peremajaan diharapkan tingkat produksi akan meningkat sekitar 20-30 %.

Terdapat 3 jenis perkebunan karet yang ada di Indonesia, yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) da Perkebunan Besar Swasta (PBS). Dari ketiga jenis perkebunan tersebut, PR mendominasi dari luas lahan yang mencapai 2,84 juta hektar atau sekitar 85% dari lahan perkebunan karet. Dengan sedemikian luasnya perkebunan karet yang dikelola rakyat, keterkaitan penyerapan tenaga kerja dan sebagai sumber pendapatan rakyat diharapkan dapat ditingkatkan dengan pengelolaan yang terpadu. Perkebunan besar diharapkan dapat menjalin program kemitraan dengan petani agar nilai tambah dari pengelolaan perkebunan rakyat dapat optimal diantaranya dengan kemitraan di bidang pemasaran, pembinaan produksi hingga pembiayaan yang berkesinambungan.

Daerah Sumatera memiliki area perkebunan terbesar yang mencapai 70% dari total area di Indonesia. Iklim yang ideal dan tersedianya sarana yang memadai menjadi pertimbangan dalam pengembangan karet di wilayah tersebut. Pengembangan karet di wilayah tersebut mencapai 1,56 juta hektar baik yang berupa intensifikasi/rehabilitasi, peremajaan maupun perluasan lahan.

Tabel 3. Luas lahan dan produksi karet

Sumber : PMG (Publisindo Marinitama Gemilang)

Pertumbuhan lahan PR dalam 3 (tiga) tahun terakhir menunjukkan penurunan sebesar 26% dari sebelumnya seluas 3,85 juta hektar di tahun 2005. Peralihan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit menjadi salah satu faktor menurunnya area karet. Peralihan tersebut dipicu dengan meningkatnya harga CPO di pasar dunia yang sejak tahun 2003 berada di kisaran US$ 500 per ton bahkan di tahun 2007 harga CPO mencapai US$ 800 per ton. Kenaikan harga CPO internasional relatif lebih baik dari pergerakan harga karet. Pada 2001, harga karet baru mencapai sekitar US$ 0.50 cent per kg yang terus merangkak naik menjadi sekitar US$ 0.90 cent per kg di tahun 2003. Pada 2007, harga karet mencapai kisaran US$ 2 per kg, yang berarti mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Pergerakan kenaikan harga relatif CPO dan karet tersebut sedikit banyak mempengaruhi kecenderungan petani dalam melakukan peralihan lahan mereka. Sebagai dampak peralihan lahan tersebut maka ke depan perkebunan karet juga dititikberatkan kepada perluasan lahan perkebunan. Perluasan lahan dilakukan mengingat konversi perkebunan membutuhkan waktu yang cukup lama dan sustainability hasil diharapkan dapat terjaga apabila terjadi pergerakan harga dari komoditas perkebunan lainnya.

Disamping pengelolaan lahan, optimalisasi di sektor hilir karet juga perlu ditingkatkan. Hal tersebut terkait dengan masih rendahnya penyerapan hasil perkebunan karet oleh sektor industri pengolahan. Hanya sekitar 10-15% hasil produksi karet alam yang dipergunakan industri dalam negeri baik untuk industri ban, alas kaki, otomotif dan sarung tangan. Kondisi tersebut mengakibatkan produsen karet menitikberatkan hasil

berupa karet mentah untuk kebutuhan ekspor. Hal ini disebabkan pemrosesan karet menjadi produk jadi masih sangat minim sehingga produk barang jadi karet untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri lebih banyak diimpor. Berbeda dengan Indonesia, Cina dan India yang juga merupakan produsen utama karet alam dan mengkonsumsi hampir seluruh produksinya untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. Pertumbuhan industri yang cukup tinggi di negara tersebut mendorong meningkatnya kebutuhan karet dan pada akhirnya meningkatkan produksi karetnya dari tahun ke tahun.

Permintaan dunia terhadap karet alam yang sekarang mulai melemah diperkirakan akan tetap melemah dalam dua sampai tiga tahun ke depan mengingat penurunan ekonomi global yang terjadi akan berdampak kepada melemahnya kemampuan konsumsi dunia. Namun dalam jangka panjang permintaan akan karet diperkirakan akan kembali meningkat seiring dengan semakin membaiknya perekonomian global.

II. Lahan Pendukung Komoditas Karet

II.I. Tanah

Lahan kering untuk pertumbuhan tanaman karet pada umumnya lebih mempersyaratkan sifat fisik tanah dibandingkan dengan sifat kimianya. Hal ini disebabkan perlakuan kimia tanah agar sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet dapat dilaksanakan dengan lebih mudah dibandingkan dengan perbaikan sifat fisiknya. Berbagai jenis tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet baik tanah vulkanis muda dan tua, bahkan pada tanah gambut < 2 m.

Tanah vulkanis mempunyai sifat fisika yang cukup baik terutama struktur, tekstur, sulum, kedalaman air tanah, aerasi dan drainasenya, tetapi sifat kimianya secara umum kurang baik karena kandungan haranya rendah. Tanah alluvial biasanya cukup subur, tetapi sifat fisikanya terutama drainase dan aerasenya kurang baik. Reaksi tanah berkisar antara pH 3, 0 – pH 8,0 tetapi tidak sesuai pada pH < 3,0 dan > pH 8,0. Sifat-sifat tanah yang cocok untuk tanaman karet pada umumnya antara lain :

  • Solum tanah sampai 100 cm, tidak terdapat batu-batuan dan lapisan cadas
  • Aerase dan drainase cukup
  • Tekstur tanah remah, poreus dan dapat menahan air
  • Struktur terdiri dari 35% liat dan 30% pasir
  • Tanah bergambut tidak lebih dari 20 cm
  • Kandungan hara NPK cukup dan tidak kekurangan unsur hara mikro
  • Reaksi tanah dengan pH 4,5 – pH 6,5
  • Kemiringan tanah < 16% dan
  • Permukaan air tanah < 100 cm.

Kriteria lain sebagai pendukung komoditas karet antara lain

  • Tinggi Tempat Ketinggian tempat optimal untuk pertumbuhan tanaman karet adalah 1—200 m di atas permukaan laut, dengan batas toleransi maksimal 500 m dpl.
  • Topografi, tanaman karet sebaiknya tidak diusahakan pada lereng yang terjal, dengan kemiringan maksimal 450. Pada kemiringan 200-280 harus dibuat teras kontour.
  • Drainase, tata udara tanah harus baik dan tidak tergenang
  • Jenis Tanah. Jenis tanah yang sesuai untuk pertanaman karet adalah tanah latosol, podsolik merah kuning, dan tanah-tanah alluvial
  • Kedalaman air tanah tidak terlalu dangkal, sampai batas tertentu makin dalam makin baik
  • Keasaman tanah (pH). Kisaran kebutuhan pH tanah untuk pertumbuhan tanaman karet adalah 3,8-8,0, dengan pH optimal 5-6.
  • Solum tanah dalam, dengan kedalaman padas yang dapat ditolerir adalah 2-3 Meter
  1. II. Karakteristik Iklim Perkebunan Karet
  • Curah hujan: 1500-3000 mm, dengan distribusi merata/ terbagi dalam 110-150 hari hujan, dengan bulan kering tidak lebih dari 2 bulan.
  • Temperatur: Temperatur yang baik 24-28 0C
  • Penyinaran matahari: optimum 5-7 jam per hari.
  • Kelembaban: Kelembaban yang tinggi sangat diperlukan untuk pertumbuhan tanaman karet.

  1. III. Biaya Produksi (Cost Production) Usaha Komoditas Karet

.

A. Investasi dan Anilisis Finansial Usaha Perkebunan Karet

Tanaman karet memerlukan waktu 5-6 tahun untuk dapat disadap, oleh karena itu pembangunan perkebunan karet memerlukan investasi jangka panjang dengan masa tenggang 5-6 tahun. Biaya investasi dan pemeliharaan TBM dan TM dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Biaya Investasi Karet dan Pemeliharaan TBM dan TM (1 ha)

URAIAN

BIAYA

(Rp/ha)

1. Biaya sertifikasi lahan

400.000

2. Pembukaan lahan dan penanaman

7.449.888

3. Pemeliharaan TBM (th 1-5)

12.664.125

TOTAL BIAYA INVESTASI (TBM)

20.514.013

4. Biaya Pemeliharaan TM: per tahun

Umur   6 – 15 tahun

Umur 16 – 25 tahun

Umur 26 – 28 tahun

Umur 29 – 30 tahun

4.347.500

3.774.500

3.349.000

2.305.750

Dengan asumsi tingkat produksi rata-rata 1.576 kg karet kering/ha/tahun, harga FOB SIR 20 : US $ 1,70/kg dan kurs: Rp 9.000/US $ (awal tahun 2006) dan harga di tingkat petani 80% FOB, dilakukan perhitungan kelayakan finansial usaha perkebunan karet diukur dengan tingkat Internal Rate of Return (IRR), Net Present Value (NPV) dan B/C ratio. Bila IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang diberlakukan yaitu 18%, maka usaha perkebunan karet layak secara finansial. Bila NPV lebih besar dari nol (positif) maka usaha adalah layak, pada

discount rate yang ditentukan yaitu sebesar 18%. Perhitungan nilai IRR dan NPV berdasarkan pada arus kas selama 30 tahun dengan asumsi biaya tetap, namun harga jual menggunakan 3 skenario yaitu: harga naik 20%, harga saat ini dan harga turun 10%, adalah seperti yang tertera di Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa proyek pada tingkat bunga 18% usaha perkebunan karet masih layak, demikian juga pada saat harga karet turun 20%, nilai NPV masih positif dan IRR lebih dari 18%. Apabila ada skim kredit yang tingkat bunganya lebih rendah (14%), maka tingkat kelayakan usaha akan semakin tinggi.

Tabel 5. Hasil Analisa Finansial Pembangunan Kebun Karet (1 ha).

Skenario (bunga= 18%)

NPV (juta Rp)

IRR (%)

B/C rasio

  • Harga jual karet naik 20%

26.6

34.5

1.30

  • Harga jual saat ini (awal tahun 2006)

19.2

31.5

1.17

  • Harga jual karet turun 10%

11.7

27.4

1.05

Skenario ( bunga = 14%)

NPV

(juta Rp)

IRR (%)

B/C rasio

  • Harga jual karet naik 20%

47.6

34.5

1.33

  • Harga jual saat ini (awal tahun 2006)

35.8

31.5

1.20

  • Harga jual karet turun 10%

24.0

27.4

1.07

1. Perluasan Kebun

Selama lebih dari tiga dekade  ( 1970-2005 ), areal perkebunan karet di Indonesia meningkat sekitar 1.27 % per tahun. Namun pertumbuhan ini hanya terjadi pada areal karet rakyat ( ± 1,6 % pertahun ). Sedangkan pada perkebunan besar negara dan swasta cenderung menurun (Tabel 1). Dengan luasan sekitar 3.3 juta ha pada tahun 2005, mayoritas (85 %) perkebunan karet di Indonesia  adalah perkebunan rakyat, yang menjadi tumpuan mata pencaharian lebih dari 15 juta jiwa. Dari keseluruhan areal perkebunan rakyat tersebut, sebagian besar ( 91% dikembangkan secara swadaya murni, dan sebagaian kecil lainnya yaitu sekitar 288039 ha (9%) dibangun melalui proyek PIR, PRPTE, UPP berbantuan, Patrial dan swadaya berbantuan

Tabel 1 pertumbuhan luas karet di Indonesia 1970-2005

Deskripsi

Areal ( 000 ha)

1970

%

2005

%
Perkebunan Rakyat

1.613

78

224

10

Perkebunan Negara

281

12

2.767

85

Perkebunan Swasta

238

7

275

8

2.318

100

3.280

100

Namun demikian secara umum produktivitas karet rakyat masih relatif rendah (796 kg/ha/th) bila dibandingkan dengan produktivitas perkebunan besar negara (1.039 kg/ha/th) maupun swasta (1.202 kg/ha/th). Hal ini, antara lain, disebabkan sebagian besar (>60%) tanaman karet petani masih menggunakan bahan tanam asal biji (seedling) tanpa pemeliharaan yang baik, dan tingginya proporsi areal tanaman karet yang telah tua, rusak atau tidak produktif (± 13% dari total areal). Pada saat ini sekitar 400 ribu ha areal karet tidak produktif karena dalam kondisi tua dan rusak. Selain itu sekitar 2-3% dari areal tanaman menghasilkan (TM) yang ada setiap tahun akan memerlukan peremajaan. Dengan kondisi demikian, sebagian besar kebun karet rakyat masih menyerupai hutan karet.

Biaya yang diperlukan untuk mengembangkan komoditi karet ke depan mencakup kebutuhan biaya peremajaan karet non-produktif dan perluasan. Untuk biaya pembangunan kebun peremajaan diperlukan biaya minimal Rp. 15,6 juta/ha, sedangkan perluasan sebesar Rp. 16,95 juta/ha. Biaya tersebut diperlukan untuk pembongkaran tunggul, pengadaan bibit, penanaman, pupuk dan pestisida, tanaman sela, dan pemeliharaan tanaman. Kebutuhan biaya dalam kurun waktu 2006-2010 untuk peremajaan adalah sekitar Rp. 3,6 triliun dan perluasan sekitar Rp 847,5 miliar (Tabel 11)

Tabel 11. Kebutuhan biaya untuk peremajaan karet, 2006–2010

Kegiatan

2006 – 2010

  1. Peremajaan kebun :
  • Luas (ha)
  • Biaya (Rp miliar)

250.000

3.900

  1. Perluasan kebun :
  • Luas (ha)
  • Biaya (Rp miliar)

50.000

847.5

Pada dasarnya pembiayaan yang diperlukan untuk merealisasikan rencana pengembangan karet ke depan dapat berasal dari berbagai sumber, yaitu dana masyarakat dan perbankan, pemerintah pusat dan daerah, pengusaha, dan dana komoditi. Dengan pertimbangan bahwa dana yang dibutuhkan untuk pengembangan karet ke depan sangat besar, sementara dana pemerintah dan perbankan sangat terbatas. maka perlu segera ditinjau untuk menghidupkan kembali pungutan dana dari komoditi (semacam Cess) karet untuk pengembangan, promosi, peremajaan dan peningkatan kapasitas SDM pada komoditi karet.

IV. Risiko Usaha Komoditas Karet

Kendala pengembangan

Kendala utama dalam pengembangan karet alam adalah tingkat produktivitas lahan karet yang masih rendah. Jika dibandingkan dengan produsen utama karet alam, tingkat produktivitas lahan di Indonesia khususnya perkebunan rakyat baru mencapai 0,8 ton/ha/tahun, sedangkan perkebunan besar mencapai sekitar 1 ton/ha/tahun. Sebagai perbandingan, produktivitas lahan di India bisa mencapai sekitar 1,9 ton/ha/tahun sedangkan Thailand mencapai sekitar 1,6 ton/ha/tahun. Dengan produktivitas lahan yang hanya setengah dari negara produsen lainnya, posisi Indonesia sulit diharapkan menjadi market leader di pasar internasional walaupun memiliki luas lahan yang terbesar di dunia.

Salah satu langkah meningkatkan produktivitas adalah melakukan sinergi antara perkebunan rakyat dan perkebunan besar melalui pola plasma. Kemampuan manajerial baik produksi maupun pemasaran dari perkebunan besar akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas perkebunan rakyat disamping peremajaan lahan yang tidak produktif (sekitar 15% dari total luas lahan) yang menjadi syarat utama peningkatan produktivitas lahan.

Tabel 4. Peremajaan dan perluasan lahan karet

Permasalahan yang mendasar bagi petani karet adalah keterbatasan dalam pengadaan bibit yang berkualitas dan sarana produksi lainnya. Dengan pola plasma diharapkan adanya kooordinasi dalam pengadaan bibit dari balai penelitian maupun penangkaran bibit unggul yang ada. Sistem plasma juga diharapkan dapat membantu dalam pengadaan modal kerja dari pihak terkait baik perkebunan besar maupun perbankan.

Kendala lain yang menghambat perkembangan karet adalah hasil bahan baku (bokar) umumnya bermutu rendah sebagai dampak dari proses pengolahan dasar di level petani belum optimal dengan metode yang dapat mengurangi kualitas bahan (pencampuran dengan bahan penggumpal berkualitas rendah atau mencampur dengan beberapa bahan yang tidak direkomendasikan). Bersamaan dengan permasalahan kualitas bokar, pola pemasaran juga tidak berpihak ke petani dengan rata-rata harga di level petani hanya mencapai 60-75% dari harga FOB. Koordinasi dengan perkebunan besar diharapkan dapat menjembatani kendala transportasi terhadap kondisi lahan petani yang menyebar sehingga pemasaran lebih solid dan kontinuitas pasokan bagi pabrik pengolahan karet dapat lebih terjamin.

Dari sisi industri pengolahan, kemampuan industri dalam negeri menyerap produksi karet alam masih rendah dan relatif stagnan dalam 5 tahun terakhir (sekitar 10-15% dari total produksi karet nasional). Industri ban merupakan industri yang dominan dalam menyerap pasokan karet dalam negeri dengan konsumsi mencapai sekitar 60% dari total konsumsi industri karet nasional. Industri lain yang menggunakan karet sebagai bahan baku antara lain industri sarung tangan, alas kaki, selang belt transmision. Selain industri ban yang merupakan industri besar, industri lainnya hanya bersifat industri berskala menengah dan kecil. Kemampuan modal dan pemasaran menjadi kendala dalam pengembangan industri menengah dan kecil tersebut. Selain kendala diatas, ketersediaan pasokan energi oleh pemerintah dalam hal ini juga menjadi kendala sehingga kontinuitas dan skala produksi menjadi tidak optimal. Di level industri kecil, produk lebih dititikberatkan kepada komponen atau barang pendukung dari produk utama seperti spare parts dan komponen alas kaki yang diproduksi pabrikan besar. Pengembangan jenis produk karet lainnya dinilai cukup berat mengingat pengolahan karet membutuhkan modal dan teknologi yang cukup tinggi. Sebagai dampak dari belum optimalnya pengembangan industri selain industri ban, utilitas industri tersebut juga relatif rendah, bahkan industri sarung tangan hanya mencapai utilitas industri sebesar 40% dan alas kaki relatif lebih baik dengan utilitas sebesar 60%.

Tabel. 5. Tingkat utilitas industri karet/barang karet

Sumber : Departemen Perdagangan

Disamping kendala produksi, kendala perdagangan internasional juga menghambat perkembangan karet dan industri berbahan karet. Mulai dari prosedur trading yang berbelit yang pada akhirnya menyebabkan biaya transaksi yang tinggi, permasalahan dumping dari negara lain hingga isu lingkungan yang menjadi prasyarat bagi pasar Eropa dan Amerika. Berbagai permasalahan perdagangan tersebut membutuhkan pemikiran dan kerjasama dari pelaku usaha dan pemerintah sebagai regulator sehingga pada akhirnya tidak menjadi hambatan dalam pengembangan karet yang menjadi salah satu unjung tombak devisa Indonesia.

V. Tenaga Kerja dalam Usaha Komoditas Karet

VI. Kelembagaan dan Kebijakan Usaha Komoditas Karet

Kebijakan Pengembangan Agribisnis Berbasis Karet Untuk meraih peluang sebagai produsen karet dan produk karet terbesar di dunia, diperlukan kebijakan yang tepat dalam pengembangan agribisnis karet di Indonesia ke depan. Serangkaian kebijakan umum yang diperlukan antara lain adalah sebagai berikut:

  1. Kebijakan ekonomi makro (terutama di bidang moneter dan fiskal) yang kondusif bagi pembangunan sistem dan usaha agribisnis karet.
  2. Kebijakan industri (industrial policy) yang memberi prioritas pada pengembangan klaster industri (industrial cluster).
  3. Kebijakan perdagangan internasional (international trade policy) yang netral namun antisipatif baik secara sektoral, domestik, maupun antar negara dalam kerangka mewujudkan suatu perdagangan yang lebih bebas dan lebih adil (freer and fairer trade) dan dinamis dalam merespon perkembangan pasar.
  4. Kebijakan pengembangan infrastruktur (jalan, pelabuhan, listrik, telepon, pengairan) di daerah-daerah yang kondusif bagi keberlangsungan usaha agribisnis yang efisien dan efektif.
  5. Kebijakan pengembangan kelembagaan (institutional policy) baik lembaga keuangan, penelitian dan pengembangan, pendidikan sumberdaya manusia, dan penyuluhan, serta pengembangan kelembagaan dan organisasi petani.
  6. Kebijakan pendayagunaan sumber daya alam dan lingkungan secara efisien dan bijaksana.
  7. Kebijakan pengembangan pertumbuhan agribisnis karet di daerah.
  8. Kebijakan ketahanan pangan dikaitkan dengan sistem dan usaha agribisnis karet.

Kebijakan ekonomi makro, terutama di bidang moneter dan fiskal hendaknya kondusif bagi terwujudnya pembangunan sistem dan usaha agribisnis karet. Jajaran pemerintah, mulai dari pusat, propinsi dan kabupaten seyogyanya mempunyai kebijakan yang terintegrasi, harmonis dan sinergis dalam bidang moneter.

Dalam bidang moneter diupayakan agar tersedia dana dari sumbersumber

Perbankan atau non perbankan yang dapat memberikan rangsangan dan dorongan bagi tumbuh dan berkembangnya usaha agribisnis karet yang kompetitif pada semua sub-sistem usaha agribisnis tersebut, terutama pada subsistem “on farm”. Untuk itu diperlukan inovasi dan kreasi di tingkat nasional maupun lokal dalam mengupayakan tersedianya dana bagi pengembangan usaha agribisnis karet. Dukungan pendanaan dari perbankan diharapkan akan kembali pulih sebagaimana sediakala, karena usaha agribisnis karet masih cukup prospektif dan tingkat profitabilitasnya cukup memadai, serta sifat dari arus tunainya (cash flow) berkelanjutan.

Di bidang fiskal, pemerintah di semua tingkatan hendaknya memiliki kebijakan yang kondusif bagi pengembangan usaha agribisnis karet, yaitu pembebanan pajak dan pungutan lainnya yang rasional, baik menyangkut besaran yang dibebankan, maupun prosedur penerapannya. Pemerintah daerah seyogyanya memikirkan dampak jangka panjang dalam penetapan retribusi ataupun pungutan-pungutan lainya dalam usaha agribisnis karet.

Arah kebijakan industri (industrial policy) memberikan prioritas pada pengembangan klaster industri (industrial cluster), yaitu kebijakan yang didasari atas kepentingan jauh ke depan, berorientasi pada nilai tambah domestik dengan proses produksi yang efisien dan efektif dan terintegrasi dalam semua tingkatan/subsistem mulai subsistem hulu (on farm), pengolahan, pemasaran dan jasa pendukung lainnya. Sebagai langkah awal, Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) karet dapat diadopsi dan didayagunakan sesuai dengan perencanaannya dan selalu mengkaitkan dan bersinergi dengan kepentingan sektor industri pengolahan dan perdagangan, serta sektor terkait lainnya.

Arah kebijakan pada sub-sistem hulu adalah terwujudnya suatu kondisi dimana ketersediaan sarana produksi (bibit, pupuk, pestisida, dan peralatan) dapat tercukupi dari produksi dalam negeri dengan tingkat mutu dan harga bersaing dengan produk-produk sejenis yang diimpor.

Kebijakan pada sub-sistem agribisnis “on farm” diarahkan kepada upaya untuk meningkatkan produktivitas hasil lateks dan kayu, mutu hasil panen, melalui pemanfaatan sumberdaya secara efisien dan efektif serta mengindahkan kelestarian lingkungan (good farming practices). Upaya regenerasi tanaman/peremajaan (replanting) sudah harus dimulai seiring dengan habisnya masa produktif tanaman karet. Dalam jangka panjang, keterkaitan sub-sistem “on farm” dengan subsistem pengolahan dan

Pemasaran   dalam usaha agribisnis karet perlu mendapat perhatian yang proporsional,  dan upaya ini akan direalisasikan dalam bentuk pengembangan usaha patungan yang bercirikan perusahaan kemasyarakatan (corporate community) melalui replikasi model-model pengembangan yang sudah ada atau membangun model baru yang sesuai.

Kebijakan pada sub-sistem pengolahan dan industri hilir diarahkan kepada upaya untuk mewujudkan tumbuh dan berkembangnya pengolahan dan industri hilir karet yang menghasilkan jenis produk sesuai dengan tuntutan pasar atau konsumen yang berkembang dinamis, serta dapat memberikan nilai tambah optimal di dalam negeri. Produk karet terutama crumb rubber, dengan total ekspor pada tahun 2005 melebihi 1,6 juta ton, dan menguasai pangsa ekspor karet sekitar 83%, perlu dimantapkan dan terus ditingkatkan pangsanya, baik pada pasar yang sudah ada maupun melalui pengembangan pasar baru.

Oleh karena itu, arah kebijakan perdagangan internasional harus bersifat responsif dan antisipatif, sehingga persoalan-persolan yang diperkirakan akan muncul dalam perdagangan internasional/global dapat segera ditangani lebih awal. Untuk itu, seluruh potensi sumberdaya pemasaran yang ada, baik di dalam maupun di luar negeri perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Kebijakan dalam pengembangan infrastruktur agribisnis karet diupayakan pada upaya konsolidasi dan optimalisasi pendayagunaan dan pemanfaatan potensi sumberdaya infrastruktur yang ada (software maupun hardware), antara lain kawasan-kawasan pembangunan terpadu yang pernah diperkenalkan dan disosialisasikan (KAPET, Klaster Industri, dan KIMBUN) perlu dimanfaatkan.

Program

Untuk mencapai sasaran jangka pendek (2006-2010) yaitu peningkatan produksi karet minimal 2,5 juta ton/th dengan tingkat produktivitas rata-rata kebun minimal 1.000 kg/ha, diperlukan upaya peremajaan dan intensifikasi pemeliharaan tanaman. Dengan demikian program peremajaan menjadi prioritas kegiatan pembangunan agribisnis karet pada jangka pendek.

1. Model peremajaan

Model peremajaan karet rakyat yang diterapkan adalah Model Peremajaan Partisipatif. Menurut Pusat Penelitian Karet/Balai Penelitian Sembawa, landasan utama pendekatan partisipatif dalam program peremajaan karet rakyat adalah adanya kebutuhan untuk mengubah paradigma pembangunan karet rakyat yang semula menggunakan pendekatan “proyek berbantuan” menjadi “gerakan swadaya masyarakat” (self-help community development) atau “pendekatan dari bawah” (bottomup approach).

Prinsip dasar pendekatan self-help development adalah mendorong masyarakat untuk belajar mengatasi masalah mereka sendiri dengan menggunakan sumberdaya yang dimiliki dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap proses pembangunan. Dengan demikian, landasan Model Peremajaan Karet Rakyat adalah Partisipatif dan Pemberdayaan Masyarakat. Beberapa pendekatan yang digunakan dalam penerapan model ini adalah :

  1. Pendekatan Wilayah meliputi: perbedaan akses informasi, kesiapan kelembagaan dan ketersediaan sarana pendukung.
  2. Pendekatan Individu meliputi: perbedaan pengetahuan, ketrampilan, motivasi dan kemampuan finansial.

Pendekatan ini sangat tergantung pada karakteristik wilayah dan kondisi sosial ekonomi petani. Model peremajaan karet partisipatif ini telah diterapkan pada peremajaan karet rakyat di beberapa kabupaten di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Pelaksanaan peremajaan karet dilakukan dengan melibatkan seluruh stakeholders yang terlibat di wilayah pengembangan, antara lain petani karet/koperasi petani, GAPKINDO, Dinas Perkebunan, Balai Penelitian, perusahaan kayu karet, Pemerintah Daerah, dan lembaga keuangan/perbankan.

2. Sasaran peremajaan

Peremajaan tanaman karet rakyat dilaksanakan pada kebun karet rakyat yang kondisinya memang sudah tidak produktif atau tanamannya tua/rusak. Lingkup pelaksanaan peremajaan karet meliputi karet rakyat baik karet rakyat swadaya maupun karet rakyat eks proyek PIR dan UPP. Dalam pelaksanaan peremajaan karet ini, petani atau kelompok tani pemilik kebun dilibatkan langsung dalam kegiatan. Hal ini dimaksudkan agar petani/masyarakat dapat lebih termotivasi, dan meningkatkan pengetahuan serta kemajuan dalam penguasaan sumberdaya dan berusahatani, sekaligus mengikutsertakan petani dalam mengelola usahataninya.

Dalam pelaksanaan peremajaan dilakukan penanaman tanaman sela (intercropping) dan sekaligus memanfaatkan kayu karet hasil tebangan. Untuk itu perlu adanya keterpaduan dengan industri pengolahan kayu karet. Hasil penjualan kayu karet tersebut digunakan untuk membiayai sebagian dana peremajaan. Pada kondisi dimana pabrik pengolah kayu karet tersedia dan akses transportasi relatif baik, maka hasil penjualan kayu karet dapat bervariasi antara Rp 5-7,5 juta/ha. Jumlah ini dapat menutupi kebutuhan utama pada tahun awal peremajaan karet.

Sesuai dengan kondisi tanaman karet rakyat dan kemampuan untuk melakukan peremajaan. maka direncanakan akan dilakukan peremajaan karet rakyat seluas 250 ribu ha dan perluasan areal karet sekitar 50 ribu ha sampai dengan 2010 yang dicapai melalui program peremajaan berbantuan (pemerintah) dan swadaya masyarakat.

3. Organisasi pelaksanaan

Rancangan peremajaan karet rakyat secara partisipatif melibatkan banyak pihak, yaitu petani/koperasi, investor, instansi terkait, lembaga penelitian, perbankan dan Pemda. Agar pelaksanaan peremajaan karet tersebut dapat berjalan sesuai dengan rencana dan tujuan, maka untuk pelaksanaan di daerah perlu dibentuk unit pengelola program peremajaan

B. Kebijakan Jangka Menengah 2006-2010

Instansi

Fungsi/Peran

Ditjen BP. Perkebunan Menyiapkan Pedoman dan rencana peremajaan. Memfasilitasi pembiayaan peremajaan
Pusat Penelitian Karet/

Balai Penelitian Karet

Menyiapkan Pedoman Teknis Peremajaan Karet yangmencakup bibit. penebangan kayu, penanaman/ peremajaandan pemeliharaan.

Menyiapkan bibit karet klon unggul (melalui waralaba benih).

Pemda Propinsi/Kabupaten Menyiapkan Petunjuk Teknis, Pembinaan teknis.Koordinator Pelaksanaan, Fasilitasi Pembiayaan.
PTPN (PIR Karet) Penyediaan saprodi (bahan tanaman. dan lain-lain), Pembinaan, Avalis dalam pendanaan.
GAPKINDO Memberikan bantuan dana baik untuk bahan tanam maupun sarana produksi, Memfasilitasi pemasaran.
Perbankan / Bank Pembangunan Daerah /  Lembaga Pembiayaan Penyediaan dana.
Petani/ Kelompok Tani /

Koperasi / Asosiasi Petani Karet /

CCDC Karet

Mengelola dana hasil penjualan kayu untuk kegiatanperemajaan, Koordinator kegiatan pemeliharaan danpengadaan sarana produksi.
Perusahaan Kayu Karet

Penebangan kayu karet, Pembelian kayu karet.
Perusahaan Pupuk Penyediaan pupuk.
Kelompok Tani Mengelola kepentingan kelompok dalam hubungannya dengan pihak di luar kelompok

Program Pengembangan Agribisnis Karet di Indonesia

Dengan kondisi harga karet sekarang ini yang cukup tinggi, maka momen tersebut perlu dimanfaatkan dengan melakukan percepatan peremajaan karet rakyat dengan menggunakan klon-klon unggul, mengembangkan industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah, dan meningkatkan pendapatan petani. Strategi di tingkat on-farm yang diperlukan adalah :

  • penggunaan klon unggul dengan produktivitas tinggi (2-3 ton/ha/th);
  • percepatan peremajaan karet tua seluas 400 ribu ha sampai dengan tahun 2009 dan 1,2 juta ha sampai dengan 2025;
  • diversifikasi usahatani karet dengan tanaman pangan sebagai tanaman sela dan ternak; dan (d) peningkatan efisiensi usahatani.

Sedangkan di tingkat off-farm adalah :

  • peningkatan kualitas bokar berdasarkan SNI;
  • peningkatan efisiensi pemasaran untuk meningkatkan marjin harga petani;
  • penyediaan kredit untuk peremajaan, pengolahan dan pemasaran bersama;
  • pengembangan infrastruktur;
  • peningkatan nilai tambah melalui pengembangan industri hilir; dan
  • peningkatan pendapatan petani melalui perbaikan sistem pemasaran.

DAFTAR PUSTAKA

Suryana, Achmad, Didiek Hadjar Goenadi, Luqman Erningpraja, Bambang Drajat, Budiman Hutabarat, Ambar Kurniawan. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian: Jakarta Selatan

____________________________________. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian: Jakarta Selatan